Mengenal Tradisi 'Tito Bado Odong Gahu', Ritual Adat Masyarakat Akibat Erupsi Gunung Lewotobi
Ritual 'Tito Bado Odong Gahu' bertujuan mengusir segala hal negatif akibat erupsi besar Gunung Lewotobi Laki-laki yang dampaknya semakin terasa ke masyarakat.
Masyarakat adat di dusun Boganatar, Desa Kringa, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar ritual adat menolak bala, setelah meletusnya gunung Lewotobi Laki-laki di kabupaten Flores Timur.
Desa Kringa merupakan salah satu lokasi yang yang paling terpapar abu vulkanik letusan gunung Lewotobi Laki-laki. Ritual itu digelar di rumah sesepuh adat, bernama Yan Lewar.
Yan Lewar merupakan salah satu sesepuh sentral di Boganatar. Dia bergelar 'Marang' atau pelantun mantra saat seremonial adat bersama tetuah suku Lewar lainnya.
Di atas meja sudah disediakan sejumlah butir telur ayam, daun sirih, dan tembakau. Sesajen ini disimpan pada wadah yang berbahan daun lontar, kecuali telur ayam kampung diletakkan di atas potongan tempurung kelapa.
Yan Lewar duduk berdekatan dengan Petrus Wahan Lewar, Tuan Tanah Boganatar. Mereka adalah garis turunan tulen yang mendiami kampung itu sejak turun temurun. Keduanya memakai sarung dan kain selempang yang melingkari leher masing-masing.
Setelah semuanya disiapkan, Petrus dan Yan berjalan kaki ke arah bukit. Jaraknya sekira satu kilometer dari Boganatar. Mereka menggelar ritual sakral yang dikenal dengan nama 'Tito Bado Odong Gahu'.
Tokoh Adat Boganatar, Paulus Nong Sina mengatakan, ritual 'Tito Bado Odong Gahu' bertujuan mengusir segala hal negatif akibat erupsi besar Gunung Lewotobi Laki-laki yang dampaknya semakin terasa ke masyarakat Boganatar.
"Seremonial untuk usir semua dampak buruk dari Gunung Lewotobi Laki-laki seingga tidak menyusahkan masyarakat. Supaya material panas, gempa, dan segala bentuk penyakit tidak masuk ke sini, kami usir jauh-jauh," ujar Paulus.
Selain untuk warga Bogantar di Desa Kringa, ritual itu juga demi kebaikan masyarakat Desa Kringa seluruhnya, termasuk empat desa lain yakni, Timu Tawa, Hikong, Udek Duen, dan Ojang.
"Lima desa ini sudah terdampak. Kami gelar di Dusun Boganatar, para tetuah adat di wilayah masing-masing juga biasa buat upacara yang sama, semuanya untuk menghalau hal buruk," ungkap Paulus Nong Sina.
Paulus menambahkan, ritual Tito Bado Odong Gahu juga bertujuan memohonan perlindungan luluhur agar melindungi para pengungsi yang masih ada di tempat itu.
Saat ritual berlangsung, 'Maring' atau pelantun mantra meminta bumi agar tetap kuat lewat kalimat 'Nian Giit Tana Mangan'. Termasuk lanjutan mantra susulan yang teramat rumit dan panjang.
"Sekurang-kurangnya untuk semua kita yang ada di lima desa ini, memohon perlindungan agar selalu sehat dan selamat," ujar Paulus Nong Sinam.
Warga Minta Dievakuasi
Sejak letusan besar terjadi pada Minggu (3/11), warga asal Desa Nawokote dan Boru, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur mengungsi di dusin Boganatar.
Namun karena terdampak abu vulkanik yang makin parah, ratusan pengungsi yang berada di Desa Boganatar dan Hikong, Kabupaten Sikka meminta untuk dievakuasi dari posko. Tim SAR gabungan pun langsung bergerak cepat menanggapi permintaan itu.
"Sore ini evakuasi pengungsi di Desa Hikong, Kecamatan Talibura menuju posko di Desa Kasaboma, Kecamatan Titehena, Flores Timur," jelas Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Maumere, Supriyanto Ridwan.
Menurut Supriyanto Ridwan, awalnya mereka hendak dibawa ke posko pengungsian di Desa Konga namun karena lokasinya sudah padat, ratusan pengungsi asal Boganatar dan Hikong dievakuasi ke posko terus Desa Kasaboma.
"Posko pengungsian di Konga sudah padat jadi mereka dievakuasi ke desa Kabasoma, Kecamatan Titehena. Kemarin mereka masih merasa aman, namun hari ini mereka minta untuk dievakusi," tutupnya.