MK: Komisi Yudisial bukan lembaga pengawas hakim konstitusi
Alih-alih sebuah komisi, keberadaan KY dipandang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK. Dalam amar putusannya, panel hakim menyebut Komisi Yudisial (KY) bukan lembaga pengawas hakim konstitusi.
Saat membacakan putusannya, dalam praktik negara hukum, belum pernah terjadi putusan pengadilan dapat dinilai kebenaran atau kesalahannya melalui lembaga negara lainnya. Sebab, hal itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik atas peradilan konstitusi.
"Alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court," kata Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan pertimbangan hukum putusan pengujian UU Penetapan Perppu MK di Jakarta, Kamis (13/2).
Dengan alasan itu, Harjono meyakini KY bukan lembaga berwenang untuk menilai benar atau salahnya sebuah putusan MK. Sebab, kebebasan untuk menyatakan pendapat dijamin undang-undang. Namun, kekuasaan kehakiman dibatasi dengan mensyaratkan formalitas yang dapat dihukum dengan sanksi pidana.
"Apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan," ujar Harjono.
Dia menjelaskan, dalam praktik ketatanegaraan yang berlangsung di Amerika Serikat terdapat hak veto yang dimiliki presiden. Kondisi itu menunjukkan adanya checks and balances dalam hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif.
"Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan," tegasnya.
Indonesia sebagai negara hukum (rule of law state), harus memegang prinsip utama , yakni kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Sehingga, campur tangan dari lembaga negara justru mengancam prinsip tersebut.
"Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum," tandasnya.
Apalagi, sudah ada pengadilan tata usaha negara yang berwenang untuk melakukan koreksi terhadap kekuasaan eksekutif. Keputusan pun dapat dibatalkan melalui lembaga peradilan tersebut jika dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Sedangkan, Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan sama untuk menguji peraturan di bawah undang-undang. Hanya MK yang ditugaskan untuk mengoreksi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang.
"Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya dan dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman," papar Harjono.
Hakim Konstitusi ini juga mengungkapkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
"Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum," pungkasnya.
Baca juga:
Ini alasan MK batalkan UU Nomor 4/2014
UU MK dibatalkan, PDIP lega dan minta internal MK diperbaiki
Hanura dukung pembatalan UU MK
UU MK dibatalkan, Demokrat minta pemerintah ajukan RUU MK baru
Yusril: UU MK dibatalkan, MK perburuk citranya sendiri
-
Bagaimana cara Komisi Yudisial menindaklanjuti isu skenario tunda pemilu? Munculnya isu penundaan pemilu, KY memanggil hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait putusan penundaan Pemilu 2024. Implikasi dari penundaan ini adalah memunculkan ketidakpastian politik, potensi timbulnya konflik, serta meragukan legitimasi pemerintahan berikutnya. Faktor-faktor yang menyebabkan penundaan ini antara lain adalah keputusan dan interpretasi hukum yang diambil oleh hakim PN Jakpus. KY melakukan pendalaman terhadap putusan tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan keadilan dalam proses hukum, termasuk melakukan komunikasi dengan Mahkamah Agung terkait aspek perilaku hakim yang terkait.
-
Kapan Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Sebelumnya, Masinton Pasaribu berupaya menggalang dukungan anggota Dewan untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan gugatan batas usia capres dan cawapres? Mahkamah Konsitutusi (MK) menggelar sidang putusan gugatan batas usia capres dan cawapres dalam UU Pemilu.
-
Apa harapan Anies Baswedan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? “Kita hormati, kita belum tahu, dan kita tidak mau berspekulasi, tapi kita berharap bahwa MK mengambil peran untuk menyelamatkan demokrasi kita, membuat mutu demokrasi kita terjaga,” kata Anies di MK.
-
Kenapa Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengusulkan penggunaan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi karena putusannya terkait batas usia capres-cawapres dinilai tidak berlandaskan konstitusi.