MK Putus Gugatan Batas Usia Maksimal Capres-Cawapres 70 Tahun Pekan Depan
Adapun pemohon Rudy Hartono meminta dalam petitumnya agar batas maksimal capres-cawapres berusia 70 tahun.
Adapun pemohon Rudy Hartono meminta dalam petitumnya agar batas maksimal capres-cawapres berusia 70 tahun.
MK Putus Gugatan Batas Usia Maksimal Capres-Cawapres 70 Tahun Pekan Depan
Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden, dengan perkara nomor 107/PUU-XXI/2023 perihal maksimal umur capres-cawapres 70 tahun.
"Senin 23 Oktober 2023 pukul 10.00 WIB, perkara nomor 107/PUU-XXI/2023 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," tulis jadwal sidang yang tertera di situs Mahkamah Kontitusi, dikutip Sabtu (21/10).
Adapun pemohon Rudy Hartono meminta dalam petitumnya agar batas maksimal capres-cawapres berusia 70 tahun. Menurutnya, usia menentukan kemampuan seseorang dalam memimpin.
- MK Tolak Gugatan Usia Capres Maksimal 70 Tahun, Mahfud MD: Pak Prabowo Silakan Mendaftar
- Cak Imin Soal MK Tolak Gugatan Batas Maksimal Usia Capres 70 Tahun: Masa Depan Saya Jadi Cerah
- MK Tolak Gugatan Batas Maksimal Usia Capres/Cawapres Maksimal 70 Tahun
- Batas Usia Capres Maksimal 70 Tahun Digugat ke MK, PDIP Ingatkan Hukum Tak Digunakan untuk Saling Jegal
MK juga akan membacakan putusan perkara nomor 104/PUU-XXI/2023 terkait UU Pemilu dengan pemohon Gulfino Guevarrato, yang dalam petitumnya meminta agar orang yang sudah dua kali maju capres tidak diperkenankan kembali maju.
Selanjutnya, perkara nomor 102/PUU-XXI/2023 terkait uji materi UU Pemilu dengan pemohon Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro, yang dalam petitumnya meminta agar batas usia maksimal capres 70 tahun serta tidak pernah cedera karena terlibat pelanggaran HAM.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materil Undang-Undang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang dilayangkan pemohon Almas Tsaqibbirru dalam gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023. Hasilnya, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.
Hakim Konstitusi Saldi Isra pun memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Dia mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut.
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," tutur Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10).
Saldi menguraikan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," jelas dia.
Pembahasan dan pengambilan putusan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2023 sendiri dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi. Beberapa Hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kata Saldi, tiba-tiba berbeda sikap.
"Tiba-tiba menujukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebiajkan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Tanda-tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pencapat beberapa Hakim dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet. Karena itu, pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali," bebernya.
Bahkan, setelahnya sempat terjadi hal yang sangat janggal yakni Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya. Namun kemudian sehari setelahnya malah membatalkan kembali penarikan tersebut.
"Bahwa terlepas dari misteri yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023," ungkapnya.
Lebih lanjut, pembentuk undang-undang telah secara eksplisit menyampaikan dan memilki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review, dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon.
"Bukan justru melempar bola panas ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini justru diambil alih dan dijadikan beban politik Mahkamah untuk memutusnya," katanya.
"Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhimya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi pubik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?" Saldi menandaskan.