MK tolak gugatan SDA, OC Kaligis & Irman Gusman terkait remisi koruptor
Para pemohon meminta MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 14 Ayat 1 huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai 'remisi berlaku diskriminatif'.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 14 ayat (1) UU Permasyarakatan terkait pemberian remisi yang diajukan oleh lima orang narapidana korupsi. Permohonan uji materi ini diajukan oleh lima terpidana kasus korupsi, yakni Suryadharma Ali (SDA), OC Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu dan Waryono Karno.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, seperti dilansir Antara, Selasa (7/11).
MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun MK tidak memiliki wewenang untuk mengadili permohonan tersebut.
Dalam pertimbangannya menyebutkan hal yang dipersoalkan sesungguhnya adalah peraturan pelaksanaan dari UU 12/1995 yang telah didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah.
"Sehingga keberatan terhadap hal itu telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul membacakan pertimbangan.
Kuasa hukum para pemohon, Muhammad Rullyandi, menyebutkan bahwa dalam ketentuan a quo tidak tertulis narapidana kasus korupsi tidak boleh mendapatkan remisi, sehingga seharusnya remisi juga menjadi hak para pemohon meskipun para pemohon adalah narapidana kasus korupsi.
Selain itu, para pemohon juga berpendapat bahwa ketentuan a quo tidak sejalan dengan pasal 34A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi.
Adapun syarat dari pemberian remisi dalam ketentuan tersebut adalah narapidana akan diberikan remisi jika bersedia bekerja sama sebagai 'justice collaborator' dan narapidana yang bersangkutan telah membayar lunas denda serta uang pengganti.
Dalam kasus korupsi, pihak yang berwenang untuk menentukan 'justice collaborator' adalah penegak hukum yang dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait dengan hal ini, Rullyandi menyebutkan ketentuan ini jelas merugikan pihaknya, karena KPK dinilai para pemohon akan bersikap subjektif dalam menentukan 'justice collaborator'.