MK Tolak Gugatan Ulang Batas Usia, TKN: Jangan Ada Lagi Nyatakan Pencalonan Gibran Melawan Hukum
Pernyataan tersebut terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan ulang batas usia capres-cawapres dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/20
Keberadaan Gibran sebagai Cawapres Prabowo bisa dipandang sebagai perwakilan anak muda.
MK Tolak Gugatan Ulang Batas Usia, TKN: Jangan Ada Lagi Nyatakan Pencalonan Gibran Melawan Hukum
- Besok MK Kembali Sidang Gugatan Batas Usia Capres Cawapres, Begini Kata Anies
- Soal Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Eks Hakim MK: Seperti Anak Cacat, Kita Harus Terima
- MK Juga Tolak Batas Usia Capres-Cawapres Jadi 25 Tahun
- Ketua MK Anwar Usman Tak Ikut Ambil Keputusan Tolak Tiga Gugatan Syarat Usia Capres Cawapres
Ketua Koordinator Strategis Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan jangan ada lagi pihak yang menyatakan kalau pencalonan Gibran sebagai Cawapres melawan hukum.
Pernyataan tersebut merespons terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan ulang batas usia capres-cawapres dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023.
"Dengan adanya putusan 141 ini kami berharap jangan ada lagi pihak yang menyatakan bahwa pencalonan Gibran dilakukan dengan cara yang melawan hukum dan beretika," kata Sufmi saat jumpa pers, Kamis (30/11).
Menurutnya, dalam putusan MK yang menolak gugatan perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 yang ingin menguji kembali konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah tepat.
"Faktanya dalam persidangan ini delapan Hakim Konstitusi tanpa Pak Anwar Usman yang mengikuti sidang. Secara bulat menyatakan putusan nomor 90 tidak ada masalah sama sekali," katanya.
"Bahkan dalam keputusan ini, tidak ada sama sekali dissenting opinion dan concurring opinion," tambah dia.
Sehingga, Sufmi menilai keberadaan Gibran sebagai Cawapres Prabowo bisa dipandang sebagai perwakilan anak muda dan menjadi sejarah dalam kontestasi Pilpres 2024.
"Untuk pertama kalinya generasi muda terwakili sebagai subjek pemilu dan ini tentu sangat positif untuk meningkatkan semangat kaum muda kita," tuturnya.
Atas hal tersebut, Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu pun menyarankan agar para paslon lebih baik fokus untuk menyusun gagasan visi, misi dan program masing untuk menilai oleh masysrakat.
"Jangan mengotori demokrasi kita, dengan propaganda hitam serta tuduhan tidak mendasar hanya karena takut atau kemudian karena berkompetisi," katanya.
Sebelumnya, MK menolak uji materil, yang mempermasalahkan syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden, atau yang hanya boleh maju pernah menjabat sebagai gubernur atau wakil gubernur.
Adapun, gugatan ini diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia bernama Brahma Aryana. Dalam amar putusannya, Hakim Suhartoyo bersama dengan delapan hakim MK menolak perkara nomor 141/PUU-XXI/2023.
"Menolak pemohon yang untuk seluruhnya," ucap hakim Suhartoyo dalam putusannya, Rabu (29/11/2023).
Majelis Hakim beralasan, pokok permohonan yang diajukan oleh Brahma tidak beralasan menurut hukum. Sebagaimana gugatan pasal Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 soal syarat usia capres-cawapres yang telah ditambahkan ketentuannya lewat Putusan MK Nomor 90/PU U-XX 11/2023 diubah.
Petitum itu terkait batas usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, yakni gubernur atau wakil gubernur.
"Mahkamah berpendapat putusan a quo (Putusan 90) adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final yang mengandung makna terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat bacakan pertimbangan.
Atas hal itu, kata Enny, MK sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat.
“Masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," ungkapnya.
Menurut Enny, hal tersebut juga menegaskan bahwa putusan MK berlaku dan mengikat serta harus dipatuhi oleh semua warga negara termasuk lembaga negara sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanpa adanya syarat apapun.