Musa, Anak Pemohon Uji Materi Larangan Ganja untuk Kesehatan Meninggal Dunia
Pada 2016 saat Musa mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia dalam satu bulan penuh terapi tersebut cukup membuahkan hasil signifikan untuk perkembangan kondisi kesehatannya. Bahkan, Musa tidak lagi mengalami kejang.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu mengabarkan jika pemohon uji materil pasal pelarangan narkotika untuk pelayanan kesehatan yakni Ibu Dwi Pertiwi baru saja kehilangan putranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa. Musa meninggal dunia pada 26 Desember 2020.
Erasmus menyampaikan meninggalnya Musa, karena dirinya telah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal.
-
Apa yang telah dilakukan UN Commission on Narcotic Drugs (CND) terkait ganja? Pada 2 Desember 2020, UN Commission on Narcotic Drugs (CND) atau badan pembuat kebijakan narkoba di PBB mengklasifikasikan ulang ganja dan resin ganja ke dalam daftar internasional untuk mengakui nilai medisnya.
-
Dimana kue ganja tersebut ditemukan? Dari hasil kerja sama tersebut ditemukan ganja yang dicampur dengan kue seberat 278,2 gram dari Kota Medan, Sumatera Utara.
-
Kapan ganja dan resin ganja direklasifikasi? Pada 2 Desember 2020, UN Commission on Narcotic Drugs (CND) atau badan pembuat kebijakan narkoba di PBB mengklasifikasikan ulang ganja dan resin ganja ke dalam daftar internasional untuk mengakui nilai medisnya.
-
Siapa yang memutuskan untuk menghapus ganja dari daftar obat terlarang? Ke-53 Negara Anggota CND, badan pembuat kebijakan narkoba utama PBB, memilih untuk menghapuskan ganja dari Daftar tersebut.
-
Bagaimana proses penghapusan ganja dari daftar obat terlarang? CND telah mempertimbangkan rekomendasi WHO sejak tahun 2018 dan menyetujui pemungutan suara secara langsung di Wina pada bulan Desember 2020.
-
Mengapa ganja dan resin ganja direklasifikasi? CND melakukan pemungutan suara berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh Komite Ahli Ketergantungan Narkoba (ECDD) ke-41 WHO, yang menyarankan agar ganja dan resin ganja harus direklasifikasi dari daftar saat ini bersama dengan heroin, analog fentanil, dan opioid lain yang dianggap sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
"Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020," kata Erasmus pada siaran persnya yang diterima merdeka.com Senin (28/12).
Erasmus menceritakan bila sakit yang dialami Musa diawali dari penyakit pneumonia yang pernah menyerang Musa saat usianya masih sekitar 40 hari. Namun, karena terdapat kekeliruan dalam pemberian diagnosa dan pengobatannya, penyakit pneumonia tersebut berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak.
"Sampai akhirnya pada 26 Desember 2020, Musa menghembuskan napas terakhir setelah kondisi fisiknya menurun karena berjuang melawan sesak napas akibat produksi phlegm (lendir di dalam paru-paru) yang lebih banyak dari biasanya, phlegm ini menghambat asupan oksigen ke dalam paru-paru Musa," katanya.
Walaupun, lanjut Erasmus, pada 2016 saat Musa mendapatkan pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia dalam satu bulan penuh terapi tersebut cukup membuahkan hasil signifikan untuk perkembangan kondisi kesehatannya. Bahkan, Musa tidak lagi mengalami kejang.
"Dalam waktu tersebut pun ia juga dapat terlepas dari penggunaan obat-obatan dari dokter yang biasa dikonsumsinya. Dalam kondisi ini, menurut Ibu Dwi, Musa dapat lebih mudah mengeluarkan phlegm dari dalam paru-parunya tanpa harus bersusah payah seperti yang terjadi di ujung hayatnya," ungkapnya.
"Namun sayangnya ketika kembali ke Indonesia, Bu Dwi tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan ganja tersebut kepada Musa karena UU Narkotika melarang penggunaan Narkotika Golongan I termasuk ganja untuk pelayanan kesehatan," lanjutnya.
Terlebih, Eramus menilai munculnya kasus-kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan seperti kasus Fidelis yang dipidana pada 2017 karena memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka syringomyelia yang membuat Fidelis ditangkap BNN.
Ia menjelaskan jika risiko seperti Fidelis tak bisa diambil oleh Bu Dwi sehingga pengobatan dengan ganja terhadap Musa terpaksa harus dihentikan.
"Kami merasakan duka yang teramat dalam atas meninggalnya Musa, anak pemberani yang memberikan kami alasan dan semangat untuk terus berjuang. Selamat beristirahat dengan tenang, Musa. Perjuangan-mu tak akan sia-sia," katanya.
UU Narkotika Digugat
Sebelumnya, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan dilayangkan di antaranya oleh tiga orang ibu yang anaknya menderita cerebral palsy atau lumpuh otak.
Langkah mereka menggugat pasal tersebut dengan harapan anak mereka dapat menerima penanganan medis maksimal lewat penggunaan ganja yang masuk dalam narkotika golongan I.
Kuasa Hukum penggugat, Erasmus menyampaikan, ada enam pemohon dalam uji materi pasal narkotika tersebut. Mereka adalah tiga orang ibu sebagai pemohon I, II, dan III, kemudian Rumah Cemara, ICJR, juga LBH Masyarakat.
Gugatan tersebut berangkat dari upaya pengobatan seorang ibu terhadap anaknya yang menderita lumpuh otak. Setelah berbagai usaha, akhirnya si anak dibawa ke Australia dan menjalani terapi ganja.
"Ada perkembangan kesehatan yang signifikan dari anak pemohon I karena terapi ganja di Australia," tutur Erasmus dalam sidang virtual, Rabu (16/12/2020).
Hanya saja, lanjut Erasmus, penggunaan ganja tidak diperbolehkan di Indonesia. Sementara pengobatan harus terus dilakukan dan hasil positifnya sampai ke telinga dua ibu yang anaknya juga mengalami penyakit gangguan otak, juga epilepsi.
"Pemohon dua tidak bisa membawa anaknya ke Australia karena keterbatasan biaya," jelasnya.
Sama halnya dengan pemohon tiga, obat-obatan dari BPJS juga kini tidak bisa diberikan karena terbatasi usia si anak. Ketiga ibu itu hanya bisa bergantung pada pengobatan terapi ganja yang diklaim telah meningkatkan kesehatan salah satu anak penderita lumpuh otak.
"Alasan permohonan uji materi kita ada tiga," ujar Erasmus.
Tanggapan Hakim Saat Sidang Kemarin
Menanggapi uji materi pasal tersebut, Ketua Majelis Hakim Suhartoyo, memberikan masukan kepada kuasa hukum dan pemohon dalam sidang yang digelar secara virtual itu.
"Pemohon I, II, III, kalau mendalilkan bukti, apa yang bisa memberikan keyakinan terhadap mahkamah bahwa ada relevansinya antara narkotika Golongan I dengan dampak pengobatan anak-anak. Itu juga yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan eksperimen atau empirik. Badan apa yang bisa menyakinkan mahkamah bahwa ini berkorelasi narkotika Golongan I ini dengan ini," tutur Suhartoyo dalam sidang, Rabu (16/12).
Dalam berkas gugatan, lanjutnya, pemohon hanya menguraikan pengalaman pasien setelah menerima pengobatan menggunakan ganja dan dinilai sangat membantu progres kesehatan. Hakim Suhartoyo berharap ada argumentasi yang lebih dalam sehingga pihaknya bisa mempertimbangkan untuk mengabulkan gugatan tersebut.
"Tetapi tarikan daripada norma itu kan pesannya kan jangan sampai ada ketergantungan. Nah, kekhawatiran norma yang tidak boleh ada ketergantungan itu yang merupakan satu kesatuan dengan norma yang khusus untuk ilmu pengetahuan, tidak boleh untuk terapi tapi yang kemudian satu kesatuan berdampak pada adanya ketergantungan," jelas dia.
Suhartoyo menyebut, hakim atau pun pemohon tidak memiliki kapasitas menentukan apakah penggunaan narkotika Golongan I dapat menanggalkan ketergantungan atau pun bisa murni pengobatan. Seyogyanya ada lembaga khusus yang berwenang atas hasil tersebut.
"Nah itu tolong diyakinkan mahkamah melalui bukti atau uraian penjelasan yang bisa meyakinkan kami, bahwa ini bukan pendapat subjektifikasi atau empirik para pemohon yang telah mencoba itu, sehingga berdampak bagus bagi anak-anaknya. Coba dipertimbangkan kembali bagaimana merepresentasikan itu dan meyakinkan mahkamah, bahwa ini bukan pendapat tapi betul-betul ada korelasi antara penggunaan narkotika Golongan I dengan penyakit ini. Ini untuk menegaskan legal standingnya. Tolong dielaborasi kembali," jelas Suhartoyo.
(mdk/rhm)