Negara rugi Rp 179 triliun jika air tetap dikelola swasta
"Kalau pemprov senafas dengan swasta ajukan banding, mereka bisa dikatakan ingkar konstitusi."
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mensinyalir negara mengalami kerugian Rp 1 triliun lebih per tahun karena air dikuasai PT Aerta dan PT Palija di wilayah Jakarta Utara. Jika dibiarkan, kemungkinan negara akan mengalami kerugian hingga Rp 179 triliun pada tahun 2023.
"Hitungan Pam Jaya, per tahun 2012 kerugian negara mencapai Rp 1.179.747.577.095. Jika dibiarkan sampai 2023 perkiraan kerugian mencapai Rp 179 triliun. Ini hitungan Pam Jaya lho, bukan hitungan LBH," terang Arif Maulana dari LBH Jakarta dalam konferensi pers di gedung LBH, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakpus, Rabu (25/3).
Menurut Arif, air harus dikelola negara karena pada dasarnya tidak mencari keuntungan. Ada pun pihak swasta hanya mencari keuntungan semata dan dampaknya terjadi seperti yang dialami warga di Jakarta Utara.
"Kenapa kami minta air dikelola negara, karena negara pada dasarnya menjunjung konstitusi dan tidak mau cari keuntungan. Beda dengan swasta yang cari keuntungan. Maka itu kami meminta air dikembalikan ke BUMN atau BUMD," tuturnya.
Arif sendiri memperingatkan pemerintah agar tidak langgar konstitusi. Menurutnya, sesuai pasal 33 ayat 3 UUD, air dikuasai negara dan untuk kemakmuran rakyat. Dan seandainya pemerintah senafas dengan PT Aetra dan PT Palija mengajukan banding, maka pemerintah layak disebut pembohong dan ingkar konstitusi.
"Kalau pemprov senafas dengan swasta ajukan banding, mereka bisa dikatakan ingkar konstitusi. Mereka bisa disebut pembohong karena sudah dilantik dan sumpah taat konstitusi," pungkasnya.