Ogah disamakan dengan pengemis, paguyuban angklung demo di DPRD DIY
Mereka membawa tiga tuntutan. Pertama cabut SP yang dikeluarkan Satpol PP. Kedua tak ingin disamakan dengan profesi mengemis atau pemulung. Ketiga ingin adanya perlindungan hukum bagi para pemain angklung.
Ratusan pegiat seni angklung yang menggabungkan diri ke dalam Paguyuban Angklung Yogyakarta (PAY) menggelar aksi di depan Gedung DPRD DIY, Senin (10/4). Dalam aksinya ini, para pegiat angklung jalanan ini memainkan musik di depan Gedung DPRD.
Kedatangan ratusan pegiat angklung jalanan ini untuk menuntut Satpol PP DIY mencabut surat peringatan (SP) satu dan kedua. SP satu dan kedua ini dilayangkan Satpol PP DIY kepada PAY terkait pelarangan aktivitas angklung di trotoar jalan.
Menurut pendamping PAY, Sugiarto dari LKBH Pandawa, aktivitas pegiat kesenian angklung di jalanan Yogyakarta tidaklah sama dengan aktivitas gelandangan dan pengemis. Bermain angklung di jalanan, lanjut Sugiarto adalah kegiatan seni dan layak untuk difasilitasi pemerintah.
"Ada tiga tuntutan yang kami ajukan ke DPRD DIY. Pertama, adalah dicabutnya SP satu dan dua yang dikeluarkan oleh Satpol PP. Kedua, hilangkan stigma bahwa angklung di jalanan sama dengan gelandangan pengemis. Ketiga, adanya perlindungan hukum bagi para pemain angklung," ujar Sugiarto, Senin (10/4).
Sugiarto menambahkan bahwa SP satu dan dua disebutkan salah satu alasan pelarangan angklung bermain di trotoar karena dianggap menganggu ketertiban dan kenyamanan pejalan kaki. Padahal, sambung Sugiarto, para pegiat angklung ini tidak menganggu aktivitas pejalan kaki.
"Masih ada ruang bagi para pejalan kaki. Pegiat seni angklung tidak memakai trotoar sepenuhnya. Selain itu juga mereka tidak permanen," terang Sugiarto.
Dalam aksinya ini selain memainkan musik angklung, massa juga membawa berbagai spanduk berisi penolakan terhadap SP satu dan dua yang dikeluarkan oleh Satpol PP. Salah satunya bertuliskan "Kami seniman bukan pengemis".