Panitera pengganti PN Jaksel ngaku tak tahu soal suap jerat rekannya
Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, I Gede Ngurah Arya Winaya selesai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana suap yang dilakukan sesama panitera pengganti, Tarmizi. Usai diperiksa, Arya mengaku tidak pernah mendengar apapun mengenai adanya pemberian uang terkait perkara.
Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, I Gede Ngurah Arya Winaya selesai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana suap yang dilakukan sesama panitera pengganti, Tarmizi. Usai diperiksa, Arya mengaku tidak pernah mendengar apapun mengenai adanya pemberian uang terkait perkara.
"Enggak. Enggak pernah dengar hal gitu," ujar Arya di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (8/9).
Dia menambahkan, meski sesama panitera pengganti dirinya tidak sering berkomunikasi dengan Tarmizi. Apalagi membicarakan perkara yang sedang berpekara di tempatnya bekerja.
Menurutnya, setiap panitera pengganti memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing sebagai pendamping majelis hakim dalam menjalani proses persidangan. Sehingga, tambahnya, dia tidak mencampuri segala perkara yang ditangani panitera pengganti lainnya.
Arya mengaku baru masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan per Juli tahun 2017. "Kurang tahu. Saya kan baru (masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) bulan 7," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, tim satgas KPK melakukan operasi tangkap tangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kelima orang tersebut adalah dua kuasa hukum PT ADI, Akhmad Zaini dan Fajar Gora, Tarmizi; panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Teddy Junaedi; honorer Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Solihan; sopir rental.
Penangkapan dilakukan setelah KPK menduga telah terjadi transaksi bentuk suap atas perkara yang membelit PT ADI.
"Pemberian oleh AKZ, selaku kuasa hukum agar gugatan PT EJFS ltd. Terhadap PT ADI ditolak dan menerima gugatan rekonvensi PT ADI," ungkap Agus.
Agus menjelaskan sebagai pemulus niatannya tersebut, Ahkmad berkomunikasi langsung dengan Tarmizi. Negosiasi harga pengurusan perkara. Disebutkan bahwa dalam negosiasi itu Tarmizi meminta Rp 750 juta. Nominal tersebut disampaikan dengan menggunakan istilah 'sapi' dan 'kerbau'. Sapi diartikan sebagai ratusan juta, kambing artinya puluhan juta.
Akhmad keberatan atas permintaan Tarmizi, sehingga keduanya menemukan kesepakatan harga 4 sapi, alias Rp 400 juta. "TMZ sempat meminta 7 sapi 5 kambing. Akhirnya disepakati 4 sapi," tukasnya.
Realisasi pembayaran harga atas pengurusan perkara dilakukan Akhmad dengan mentransfer ke rekening Teddy Junaedi, honorer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Transfer rekening Teddy dijadikan dalam kongkalikong itu dijadikan sebagai rekening tampungan.
Kendati kesepakatan harga Rp 400 juta, rekening Tarmizi mendapat kucuran dana Rp 425 juta.
"Sebelumnya diterima 22 Juni melalui transfer BCA AKZ ke rekening TJ Rp 25 juta. 16 Agustus Rp 100 juta dan disamarkan keterangannya dengan keterangan DP pembayaran tanah. 21 Agustus transfer Rp 300 juta keterangannya pelunasan tanah. Total Rp 425 juta," ungkap Agus merinci.
KPK pun telah menyita barang bukti berupa buku tabungan milik Teddy dan Akhmad yang digunakan sebagai transaksi suap.
Atas perbuatannya, Tarmizi selaku pihak penerima suap disangkakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.