Pembenahan birokrasi & kepastian hukum kunci perbaiki daya saing RI
Di antara negara-negara kawasan ASEAN, Singapura menduduki peringkat tertinggi yaitu berada pada posisi ke-3, disusul Malaysia (24), Thailand (27), serta Filipina di posisi ke 41 tepat di atas Indonesia (42).
Bagi sebuah negara, daya saing menjadi salah satu parameter ketahanan dalam menghadapi tantangan pembangunan dan kemajuan bangsa lewat kekuatan ekonomi, politik, budaya bahkan kekuatan militer. Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni, mengatakan bahwa Indonesia perlu bekerja keras dalam memperbaiki daya saing global.
Menurut dia, berdasarkan"The 2017 IMD World Competitiveness Yearbook"oleh International Institute for Management Development (IMD), sebuah sekolah bisnis terkemuka dunia yang berbasis di Swiss, Indonesia menempati posisi terakhir di antara negara-negara ASEAN yang di kaji dalam "Yearbook" tersebut.
"Kendati pada tahun ini terjadi peningkatan peringkat daya saing Indonesia ke rangking 42 dari rangking 48 di tahun 2016, tetapi hal tersebutbelum mampu mendongkrak negara kita keluar dari posisi buncit di antara negara-negara ASEAN," katanya di Jakarta, Jumat (16/6).
"Bahkan peringkat kita sekarang (2017) masih di bawah peringkat kita di tahun 2014 (ranking 37) dan 2013 (39)," imbuhnya.
Di antara negara-negara kawasan ASEAN, Singapura menduduki peringkat tertinggi yaitu berada pada posisi ke-3, disusul Malaysia (24), Thailand (27), serta Filipina di posisi ke 41 tepat di atas Indonesia (42). Posisinegara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya umum-nya juga di atas Indonesia seperti Hong Kong (1), Taiwan (14), New Zealand (16), Tiongkok (18), Australia (21), Jepang (26), dan Korea Selatan (29).
Menurut Farouk, meski pemerintahan Jokowi-JK terus berupaya melakukan pembenahan di berbagai bidang, nyatanya hasil yang di dapatkan belum cukup untuk mendongkrak rangking ke level tertinggi di tahun 2014 (37), apalagi untuk mengejar Malaysia dan Thailand. Dalam beberapa sub-indikator, daya saing Indonesia tertinggal di banding negara-negara tetangga khususnya di area efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
"Dalam hal efisiensi pemerintahan, persoalan utama Indonesia adalah kerangka institusional, hukum bisnis, dan kerangka sosial. Kerangka institusional yang perlu perbaikan serius adalah penciptaan kerangka regulasi dan birokrasi yang kondusif terhadap bisnis (tidak ribet dan complicated), pemerintahan bersih dan bebas korupsi, dan kepastian hukum," jelas Farouk.
Farouk menambahkan bahwa kecenderungan di mana terjadi pelemahan KPK di satu sisi danpolitisasi KPK di sisi lain semuanya mengirimkan tanda-tanda yang negatif bagi perbaikan daya saing Indonesia di level internasional.
"Kita tidak bisa menganggap remeh kasus seperti kriminalisasi Novel Baswedan ataupun Pansus KPK yang telah di sorot media internasional sebagai satu persoalan korupsi yang serius di Indonesia," cetus Farouk.
"Untuk memperbaikidaya saing secara signifikan di pemerintahan dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia mutlak memerlukan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman yang bersih, efisien, dan profesional yang dapat menegakkan kepastian hukum bagi masyarakat," tambah Farouk.
Di area efisiensi bisnis, Farouk menyoroti kebutuhan pembukaan akses keuangan yang lebih merata kepada bisnis baik dari perbankan, lembaga keuangan non-bank, ataupun pasar modal. "Di sisi lain bisnis juga sudah harus mulai sadar terhadap konsep Good Corporate Governance, etika, integritas, maupun tanggung jawab sosial," ujar Farouk.
Efisiensi sektor pemerintahan dan bisnis di Indonesia seperti dua sisi mata uang, keduanya perlu dibenahi agar arus penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri dapat menjadi semakin besar, sehingga dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
"Tantangan Indonesia adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Sumber daya ekonomi tidak boleh dinikmati oleh sekelompok orang saja. Pemerintah harus memberikan kemudahan dalam berinvestasi dan tidak membuat regulasi yang membelenggu dunia usaha," paparnya.
Sub-indikator penting terakhir yang perlu dibenahi adalah infrastruktur. "Indonesia mempunyai kebutuhan yang kritis terhadap pembangunan infrastruktur, di sub-indikator infrastruktur Indonesia masuk di jajaran terbawah, di peringkat ke 59 dari 63 negara," jelas Farouk.
Memang, di satu sisi pemerintah terus menggenjot proyek infrastruktur untuk mengejar pemerataan pembangunan dan mengatasi ketimpangan pendapatan. Hanya saja, pemerintah masih terbelit ketersediaan dana untuk program infrastruktur tersebut dan prioritas pembangunan infrastruktur yang belum jelas.
Farouk menjelaskan bahwa untuk menjadi negara yang lebih maju dan punya daya saing di level internasional, Indonesia perlu menciptakan lingkungan ramah bisnis, mulai dari birokrasi yang bersih dan melayani, kepastian hukum, dan infrastruktur yang memadai.
Belum kompetitif-nya iklim investasi di tanah air juga tidak terlepas dari aspek penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien bahkan cenderung korup. Dia mendorong pemerintah meminimalisasi segenap faktor penghambat daya saing, salah satunya dengan melakukan penyederhanaan birokrasi yang sudah menjadi agenda dalam paket kebijakan ekonomi.
"Birokrasi yang simple, dan friendly kepada segenap pelaku bisnis dan bebas korupsi harus diwujudkan agar daya saing Indonesia terangkat," harap Farouk. "Isu-isu tersebut pada dasarnya bukan isu baru, tetapi selama Indonesia tidak bisa mengatasinya secara tuntas, maka selama itu pula kita tidak akan bisa masuk ke jajaran negara-negara maju," tutup Farouk.