Pepaya California dan Hollywood Cassava
Ketika para pedagang mengubah nama buah itu dengan sebutan pepaya Havana dan California, laris manis.
Selama dua bulan, saya bersama komunitas Futurepreneur menyambangi sedikitnya 30 kampus di Jawa dan Bali. Bicara tentang semangat bisnis, entrepreneur atau tepatnya teknopreneur. Di situ, saya sampaikan beberapa produk buatan Indonesia dan juga teknologi oleh orang Indonesia, yang baru diketahui oleh masyarakat (mahasiswa) Indonesia.
Misalnya teknologi telekomunikasi 4G (Generasi Keempat) ternyata ditemukan dan dikembangkan DR Choirul Anam, lulusan ITB Fakultas Teknis Industri dan sekarang jadi guru besar di Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang.
Menurut Wikipedia, Khairul Anwar yang asli Kediri Jatim, telah menemukan teknik transmisi wireless dengan dua buah fast Fourirer transform (FFT), yaitu FFT kecil dan (I)FFT besar (dua pada transmitter dan dua pada receiver). Teknik ini mendapatkan penghargaan pada Januari 2006 dari IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) tahun 2006, di California dan menjadi standard international telecommunication union (ITU), ITU-R S.1878 and ITU-R S.2173. Teknologi ini (beserta modifikasinya untuk multiple access) menjadi basis dari single carrier frequency division multiple access (SC-FDMA) yang dipakai pada uplink 4G LTE.
Dalam dunia game, banyak yang suka memakai pengolah gambar PicMix yang dikembangkan oleh Calvin Kizana dari Jakarta. Pengakses game ini baik melalui AppleStore maupun PlayStore mencapai sedikitnya 25 juta pengguna sedunia. Sebanyak 35% diantaranya diakses dari Indonesia. Konon sebelumnya dia pakai nama lokal acak gambar, tidak laku yang pakai sehingga di-rebrand.
Di bidang pertanian, ahli-ahli di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menemukan varietas pepaya unggul. Meski berusia setahun, dengan tinggi cuma semeter, tapi pepaya unggul temuan Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati MS asal Ponorogo Jatim, sudah menghasilkan buah pepaya kecil nan kering dan manis. Lalu disebut pepaya carisya dan callina.
Apa yang terjadi, nama kedua buah itu tidak laku. Ketika para pedagang mengubah nama buah itu dengan sebutan pepaya Havana dan California, laris manis. Semua orang mengira bahwa pepaya itu adalah impor. Tidak peduli atau tidak tahu bahwa sebenarnya pepaya di supermarket yang cakep itu adalah pepaya asli dikembangkan ahli tanaman tropika IPB.
Dari situ bisa ditebak, bahwa mental kita tampaknya bahagia dengan produk yang berbau asing. Tak heran bila resto dan cafe dengan label asing dibanjiri penikmat dengan harga mahal yang tak dimasalahkan. Meski tahu bahwa harga kopi di starback itu paling murah Rp 30 ribu, bagi generasi kita tidak masalah. Mental snobbis (menghabiskan) dan konsumtif, sudah bagian gaya hidup. Tapi kalau saja minum kopi di warung Mang Ujang dengan harga Rp 10 ribu saja sudah merasa kemahalan. Tampaknya mereka tidak tahu, bahwa biji kopi terbaik itu adalah Indonesia salah satu pusatnya di dunia. Dan, sekadar tahu, kopi andalan starback di New York, versi buku tentang kedai kopi logo hijau itu, adalah Sumateran coffee (kopi dari daratan Sumatera Indonesia) seperti Mandailing, Lampung, atau kopi Aceh yang nikmat.
Meski sebenarnya sedih, karena tiba-tiba kita tidak sadar menggunakan bahan makanan terigu seperti roti, gorengan, mie, dan lain-lain, seolah sudah menjadi makanan pokok kedua atau ketiga. Padahal terigu berasal dari tanaman gandum yang sulit dikembangkan di pertanian Indonesia. Ada yang bilang sorgum, tapi belum dianggap berhasil dan massal seperti halnya beras. Masyarakat juga belum bangga dan mau mengembangkan singkong, talas, sagu, secara massal sehingga tidak perlu impor terigu. Padahal tahun 2013 misalnya, nilai impor terigu Indonesia mencapai sekitar Rp 30,08 triliun.
Ya, kita memang negara konsumtif. Apalagi kalau dipakai label asing. Makin laris manis. Barangkali, sekalian produk-produk dari Indonesia, kalau perlu dikasih merk asing sekalian, biar laku dibeli oleh bangsa sendiri. Tapi, kemudian menjadi pertanyaan, apakah memang kita bangga dengan yang berbau asing. Tak heran bila Prof DR Ir Sriani Sujiprihati kaget ketika nama carisya dan callina yang disematkan di pepaya temuannya, berubah nama jadi havana dan california. Lalu, orang melupakan bahkan tak ada yang kenal dengan salah satu putra terbaik bangsa di pengembangan tanaman tropis yang telah memakmurkan ribuan petani di berbagai daerah yang bangga menanam pepaya carisya atau carilla...eh havana dan california.
Tampaknya kita suka membuli kalau tahu orang kita yang membuat sesuatu, sebelum akhirnya bisa jadi produk bagus. Namun kalau produk atau barang bahkan makanan dengan lebel impor dan asing, kita justru konsumtif. Tidak salah juga bagi pedagang, demi untung bagus, rela mengubah nama berbau asing. Kelak kalaupun Anda memanfaatkan singkong sebagai komoditas, pakai saja nama asing, sehingga berbau impor, demi mendapatkan keuntungan. Selagi masyarakat belum sadar dan suka dikibuli merk. Misalnya jual singkong rebus dengan judul Hollywood Cassava dengan memakai endorser pasangan bintang Brad Pitt dan Jolie lagi menikmati singkong mayones, bisa jadi laris manis. Setuju? ***