Pesta ala PKI dan Pembantaian di Desa Kelahiran Semaoen
Sebelum peristiwa PKI gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan peristiwa G30 S PKI yang menculik dan membunuh sejumlah jenderal ABRI, para pengikut PKI di desanya saat itu ibarat penguasa. Tidak sedikit orang-orang yang berafiliasi dengan partai dengan lambang palu arit tersebut.
"Zaman saat itu zaman edan (gila). Kalau enggak melakukan, mungkin enggak akan kebagian (membunuh)," ujar Mbah Piyadi, membuka ingatannya akan peristiwa kelam sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) di Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Jombang, Jawa Timur, 56 tahun silam.
Perasaan tegang, takut, sedih, bercampur aduk menyelimuti setiap penduduk di desanya waktu itu. Sebab, berbagai macam aksi kekerasan, penganiayaan, pembunuhan, bahkan pembantaian, nyaris terjadi setiap hari di desanya. Mau lari tak ada tempat yang aman, mau berdiam diri tapi selalu was-was.
-
Kapan peristiwa G30S/PKI terjadi? Tanggal 30 September sampai awal 1 Oktober 1965, menjadi salah satu hari paling kelam bagi bangsa Indonesia.
-
Kapan peristiwa G30S PKI terjadi? Sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975, G30S PKI adalah peristiwa pengkhianatan atau pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan atau pengikut-pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965, termasuk gerakan atau kegiatan persiapan serta gerakan kegiatan lanjutannya.
-
Apa tujuan utama dari peristiwa G30S PKI? Terdapat latar belakang dan tujuan tertentu yang berada di balik sejarah G30S PKI yang kelam ini. G30S PKI dilakukan bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan saat itu.
-
Kapan pasukan G30S dikalahkan? Gerakan 30 September langsung ditumpas habis sehari usai mereka menculik dan menghabisi para Jenderal Angkatan Darat.
-
Siapa yang memimpin PKI saat peristiwa G30S PKI terjadi? Di mana peristiwa ini dilancarkan oleh PKI yang saat itu dipimpin Dipa Nusantara (DN) Aidit dan Pasukan Cakrabirawa di bawah kendali Letnan Kolonel Untung Syamsuri.
-
Mengapa Soebandrio dianggap terlibat dalam G30S/PKI? Bagi AD, Soebandrio dianggap terlibat PKI, atau setidaknya memberi angin terjadinya G30S.
"Wes pokoke waktu itu semua orang mesti wedi (selalu takut). Wong kondisinya koyo ngunu (situasinya seperti itu). Akeh uwong mateni uwong (banyak orang membunuh orang)," tambahnya.
Sebelum peristiwa PKI gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan peristiwa G30 S PKI yang menculik dan membunuh sejumlah jenderal ABRI, para pengikut PKI di desanya saat itu ibarat penguasa. Tidak sedikit orang-orang yang berafiliasi dengan partai dengan lambang palu arit tersebut. Tidak hanya rakyat biasa, bahkan sejumlah pejabat desa atau pamong, juga ada yang menjadi anggota aktif dari PKI.
"Banyak yang ikut waktu itu. Gak mong wong deso, pak polo biyen yo melok PKI (tidak hanya orang desa biasa, tapi kepala dusun juga ikut PKI)," tandasnya.
©2021 Merdeka.com
Dia bercerita, orang–orang yang dulu ikut PKI, mudah untuk dikenali. Ada kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan oleh orang-orang PKI di desa. Mereka kerap mengadakan rapat-rapat yang ia sendiri tidak tahu apa saja yang dibahas saat itu. Sebelum rapat, para simpatisan PKI itu biasanya akan meminta sumbangan pada warga.
Tidak jarang, mereka akan meminta sumbangan dengan dalih untuk rapat secara paksa. Merampas apa saja yang warga punya, dan tak jarang disertai dengan kekerasan jika ada yang melawan.
"Uwong yo wedi pas iku (orang pada takut saat itu). Mereka yang enggak gelem (tidak mau) nyumbang, akan dirampas hartanya. Padahal, mereka sering (mengadakan) rapat. Rakyat sengsara," katanya.
Kebiasaan lain, usai rapat biasanya para anggota PKI itu selalu mengadakan pesta. Mereka berpesta, makan, menari, menyanyi maupun bersenang-senang lainnya. Para gerwani (kelompok wanita di PKI), biasanya turut andil dalam berbagai pesta itu.
"Akeh wong wedok e, biasane gerwani iku melu nari, nginum, pokok pesta lek mari rapat (banyak perempuannya, biasanya dari Gerwani itu ikut menari, minum, biasanya pesta usai rapat)," pungkasnya.
Huru hara di Jakarta pada 30 September 1965 dengan terbunuhnya 7 Jenderal ABRI, menjadi titik kulminasi perlawanan terhadap PKI. Termasuk pula di Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Jombang, yang nota bene tempat kelahiran Semaoen, sang pendiri PKI.
©2021 Merdeka.com
Semua orang yang 'berbau' PKI ditangkap dan bahkan dibunuh. Masih lekat dalam ingatan Mbah Piyadi, bagaimana orang-orang yang dituduh sebagai PKI itu, dieksekusi di berbagai tempat di desa tersebut. Di antaranya di lapangan desa dan lapangan kecamatan.
"Mereka yang ditangkap tentara, tak pernah kembali lagi. Dulu sempat kita ingatkan pada mereka (PKI), pergi (dari desa) atau mati. Di sini bisa didrop truk-trukan (tentara) dari koramil," ujarnya.
Mbah Piyadi mengaku dirinya dulu sempat tergabung dalam barisan Ansor (organisasi sayap NU). Sehingga ia relatif aman saat zaman huru hara pada waktu itu. Selain tergabung dalam Ansor, rumahnya juga turut ditandai lambang NU.
"Rumah-rumah waktu itu banyak yang ditandai. Ada yang ditandai sebagai keluarga tentara, keluarga NU, Ansor dan lain sebagainya. Untuk menghindari penggerebekan," tukasnya.
Jika rumah tidak bertanda waktu itu, maka penghuni rumah akan diambil oleh tentara maupun warga yang turut melakukan sweeping. Mereka yang tertangkap, ada yang dibawa entah ke mana, ada pula yang diseret ke lapangan terdekat.
Di lapangan, para anggota PKI itu akan dibunuh secara bersamaan tanpa ampun. Usai dibunuh, mayat mereka ada yang dikubur di pemakaman terdekat, ada pula yang dikubur secara massal di lapangan tempat eksekusi.
©2021 Merdeka.com
"Suasananya mengerikan, banyak orang terbunuh juga banyak orang membunuh. Senjata arit (sabit) berlumuran darah banyak dipamer pamerkan, menunjukkan kalau baru ada yang dibunuh," ujarnya.
Pada zaman itu, orang seakan berlomba untuk saling bunuh. Seakan, kalau tak melakukan takut tidak kebagian, membunuh atau dibunuh. Suasana yang mencekam setiap hari harus dilaluinya setiap saat.
"Kadang saya lari ke sawah sana untuk menyelamatkan diri, sembunyi dari kejaran PKI. Kalau sudah ada tentara saya keluar. Biasanya tentara menyisir orang-orang yang dianggap PKI," katanya.
Di sebuah lapangan kecamatan, ia juga pernah menyaksikan bagaimana orang-orang yang dianggap PKI dibunuh satu persatu. Dari tahanan Mapolsek Sumobito, mereka dibawa ke lapangan dan dieksekusi saat itu juga.
"Pokoknya, waktu itu satu persatu diclurit. Saya merasa ngeri sekali waktu itu. Meski saya Ansor waktu itu, tapi saya tidak ikut jadi algojo. Saya tidak tega," ungkapnya.
Mbah Piyadi kini sudah berumur 80 tahun. Namun, ia mengaku masih memiliki ingatan yang kuat akan peristiwa G30 S PKI yang sangat mencekam di desanya. Semua algojo yang dikenalnya saat peristiwa itu terjadi banyak yang sudah meninggal dunia. Kini, dia satu-satunya orang-orang yang masih ada dalam keadaan masih sehat, meski pendengarannya sudah agak berkurang.
Meski begitu, ia bersyukur karena masih diberi kesehatan dan umur yang panjang. Ia pun berharap, di masa depan tak ada lagi prahara kemanusiaan semacam peristiwa G30 S PKI di Indonesia.
"Saya tak mau lagi melihat pertumpahan darah di sini (Indonesia). Apalagi dengan sesama anak bangsa. Semoga negeri ini damai dan sejahtera selalu," tutupnya.
Baca juga:
Kisah Pahlawan Revolusi Mayjen Sutoyo Pamit ke Sang Putri,Esoknya Jadi Korban G30SPKI
Cerita Jenderal AH Nasution Berani Tinggalkan Rapat dengan Soekarno Demi Salat
Saksi Bisu Tragedi Pemberontakan PKI 1948 di Magetan
Langkah Menyadarkan Terhadap Phobia PKI
Siasat Licik PKI Culik Kiai usai Gagal Serang Ponpes Tegalrejo Magetan
Tragedi Madiun-Magetan dan Sumur-Sumur Pembantaian Korban PKI