PGI nilai larangan kawin beda agama langgar HAM
PGI menganggap larangan itu justru berpotensi menimbulkan perilaku moral menyimpang seperti hidup bersama tanpa nikah.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menilai ketentuan yang melarang adanya perkawinan beda agama seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Majelis agama Kristen itu menganggap larangan tersebut telah mengabaikan hak seseorang untuk menikah dan berpotensi menimbulkan perilaku yang menyimpang dari moral seperti hidup bersama tanpa perkawinan.
"Banyak pasangan yang beda agama terjebak dalam situasi yang tidak mereka kehendaki yaitu tidak memiliki rasa moral seperti hidup bersama tanpa menikah," ujar anggota Komisi Hukum PGI Nikson Lalu.
Hal itu dikatakan Nikson dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11). Dia menjadi ahli dalam sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dimohonkan oleh empat orang alumnus dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Nikson mengatakan ketentuan pasal dimaksud mengandung potensi hilangnya pengakuan atas pernikahan beda agama. Hal ini lantaran catatan sipil menolak untuk mencatatkan pernikahan pasangan beda agama.
"Pasal ini justru membuat potensi penyimpangan moral dan spiritual karena banyaknya catatan sipil menolak menikahkan mereka," ungkap dia.
Selanjutnya, Nikson mengakui gereja bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri, namun harus patuh pada peraturan negara. Meski demikian, hal itu bukan berarti gereja tidak diperbolehkan kritis terhadap kebijakan negara yang bersifat diskriminatif.
Di samping itu, menurut Nikson, pasal dimaksud diberlakukan menggunakan interpretasi yang sempit. Hal itu berdampak pada munculnya sifat diskriminatif pada UU Perkawinan.
"Bahwa penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menyimpang dari rasa keadilan, karena secara teologis orang yang berbeda agama pun tidak boleh dilarang untuk menikah," kata dia.
Lebih lanjut, Nikson juga menganggap lembaga catatan sipil seharusnya hanya bertugas melakukan pencatatan atas terjadinya pernikahan. Tetapi, pada faktanya lembaga ini melampaui wewenangnya dengan menolak pencatatan pernikahan beda agama.
"Artinya lembaga ini telah mengintervensi keabsahan dari suatu perkawinan yang telah disahkan oleh agama," ungkap dia.