Sengketa Tanah Adat di Timor Tengah Selatan Berujung Konflik Warga dengan Aparat
Konflik antara masyarakat adat Pubabu, Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan pemerintah daerah setempat masih berlarut. Konflik yang belum terselesaikan ini berujung pada penggusuran masyarakat pada 4 Agustus 2020, dan terakhir pada 13 Agustus 2020.
Konflik antara masyarakat adat Pubabu, Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan pemerintah daerah setempat masih berlarut. Konflik yang belum terselesaikan ini berujung pada penggusuran masyarakat pada 4 Agustus 2020, dan terakhir pada 13 Agustus 2020.
ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT Tory Ata sempat menayangkan video yang menggambarkan bagaimana tindakan kekerasan dan ancaman yang diduga dilakukan aparat keamanan di Pubabu.
-
Apa yang ditemukan di Kota Lama Semarang? Dari ekskavasi itu, tim peneliti tidak hanya menemukan struktur bata yang diduga merupakan bagian dari benteng Kota Lama. Namun juga ditemukan artefak berupa fragmen keramik, botol, kaca, tembikar, serta ekofak berupa gigi, tulang, tanduk hewan, dan fragmen Batubara yang jumlahnya mencapai 9.191 fragmen.
-
Siapakah Letkol Atang Sendjaja? Nama Atang Sendjaja diketahui berasal dari seorang prajurit kebanggaan Jawa Barat, yakni Letnan Kolonel (Letkol) Atang Sendjaja.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Di mana letak Desa Adat Sijunjung? Perkampungan ini terletak di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato, Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat.
-
Kapan Eno Sigit lahir? Retnosari Widowati Harjojudanto, atau Eno, lahir pada 10 April 1974, mendekati setengah abad usianya.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
Dalam video berdurasi 3.42 detik tersebut, tampak sejumlah personel keamanan mengancam warga, dan beberapa kali terdengar suara tembakan disertai suara tangis anak-anak.
Menurut dia, aparat harus melindungi warga negara terutama anak, perempuan dan lansia, kelompok rentan yang terabaikan.
"Sangat ironis dan menyedihkan karena pada Hari Kemerdekaan, sesama anak bangsa lain mengalami penderitaan, tekanan, ketakutan, yang dilakukan oleh aparat sendiri," kata Tory Ata. Dikutip dari Antara, Rabu (19/8).
Dia mengecam tindakan kekerasan dan ancaman yang diduga dilakukan aparat terhadap warga Pubabu yang berusaha mempertahankan hak milik atas tanah adat.
"Kami mengecam tindakan yang mengutamakan kekerasan dan ancaman. Mari kita gunakan hati untuk selesaikan konflik," terangnya.
Tory Ata mengatakan sebanyak 29 kepala keluarga (KK) warga Pubabu yang menjadi korban penggusuran oleh Pemprov NTT saat ini tinggal di bawah pohon. Sebagian diantara mereka tidur beralaskan tanah karena hanya ada tiga lembar tikar.
"Saat ini masyarakat tinggal di bawah pohon, tikar hanya tiga lembar, kursi empat buah, selebihnya mereka duduk di atas kayu dan batu sekitar lokasi," katanya.
Di lokasi terdapat satu periuk besar, beberapa alat makan, gelas plastik, beberapa jeriken air.
Makanan, pakaian dan barang-barang ditumpuk menjadi satu di sebuah rumah dekat petugas penggusur dan aparat keamanan.
Sementara petugas penggusur dan aparat keamanan sedang beroperasi di lokasi utama, jarak ke tempat masyarakat berkumpul sekitar 200 meter.
Dia menambahkan, kondisi rill ibu dan anak di lokasi terdiri dari laki-laki 34 orang, ibu-ibu 50 orang, lansia 6 orang, pemuda 5 orang.
Sementara anak-anak berjumlah 48 orang (SMA 8 orang, SMP 7 orang, SD 17 orang, PAUD 15 orang). Selain terdapat bayi 6 orang, ibu hamil 2 orang (5 bulan dan 6 bulan), ibu menyusui 6 orang. Umur bayi 2 bulan, 4 bulan, 7 bulan, 1 tahun (2bayi) dan 1,5 tahun.
"Seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan, memiliki 3 anak yang lain berumur 3 tahun, kelas 1 SD dan kelas 2 SD," katanya menjelaskan.
Dia mengharapkan adanya bantuan makanan untuk mereka yang saat ini tetap berupaya mempertahankan tanah ulayat mereka di Pubabu, yang akan digunakan pemerintah NTT untuk mengembangkan pertanian.
Kecaman juga datang dari LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT. "Kami mengecam tindakan represif yang dilakukan Pemerintah NTT dalam menyelesaikan sengketa lahan di Pubabu," kata Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan respons Walhi terhadap aksi penggusuran rumah warga di Pubabu, TTS yang dilakukan Pemerintah NTT.
Puluhan rumah warga di Pabubu, Besipae digusur aparat pemerintah dibantu petugas kepolisian karena lokasi tersebut akan dijadikan area pengembangan pakan ternak dan kelor.
Menurut dia, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat tidak menempati janjinya untuk berdialog dengan warga, yang semestinya terjadi di medio Juni 2020.
Pemerintah NTT justru pengerahan aparat birokrasi dan keamanan untuk melakukan penggusuran yang menimbulkan konflik di lapangan.
"Seharusnya ada dialog tetapi yang ada justru pengerahan aparat birokrasi dan keamanan yang menimbulkan konflik di lapangan," katanya.
Sementara Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing menegaskan, pemerintah tidak memiliki keinginan untuk menyusahkan atau menyakitkan hati warga Besipae.
"Pemprov NTT berencana untuk menyejahterakan masyarakat Besipae dengan melakukan program pengembangan pakan ternak dan kelor," katanya.
Di tahap awal, pemerintah akan menanam lamtoro teramba seluas 200 hektare dan kelor seluas 200 hektare.
"Pemprov NTT tidak memiliki niat sedikit pun untuk menyusahkan masyarakat. Program yang ditaruh di Besipae semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat Besipae," kata Sony.
Menurut dia, Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian akan mulai berkantor di Besipae. Oleh sebab itu, pagar dan sebuah rumah darurat yang dibangun di jalan masuk Ranch Besipae akan dibongkar.
Selain itu, lanjut Sony, Gubernur Viktor juga berpesan bahwa dalam pelaksanaan program pengembangan pakan ternak dan kelor melibatkan masyarakat Besipae.
Sedangkan Wakil Gubernur NTT, Josef A Nae Soi mengatakan pemerintah NTT membangun rumah layak huni bagi warga Pubabu sehingga tidak lagi menempati rumah yang tidak layak huni.
Demikian dikatakan Wakil Gubernur Josef A Nae Soi kepada wartawan di Kupang, Rabu (19/8), terkait polemik pengambil alihan lahan Besipae oleh Pemerintah NTT yang mendapat penolakan keras oleh warga Pubabu, Besipae.
Ia mengatakan, Pemerintah NTT tidak mengambil alih lahan Besipae untuk kepentingan tertentu tetapi akan digunakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat.
Pemerintah NTT lanjut Josef A Nae Soi tidak serta merta mengambil lahan lalu mengabaikan aspek kesejahteraan warga sekitar.
"Kami tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Hal itu menjadi perhatian serius pemerintah NTT dengan menyiapkan rumah layak huni bagi warga Pubabu," kata Josef A Nae Soi tanpa penyebut jumlah rumah yang akan dibangun itu.
Ia mengatakan, Pemerintah NTT perlu mengosongkan lahan bekas lokasi pengembangan ternak sapi di Pulau Timor itu untuk penataan kembali sebelum digunakan bagi pembangunan usaha ekonomi masyarakat.
Proses penataan lahan demikian Josef Nae Soi sudah mulai dilakukan dengan melibatkan warga sekitar sebagai pekerja untuk membersihkan lahan dengan upah sebesar Rp50.000/hari.
Menurut dia, masyarakat Pubabu boleh mengklaim bahwa lahan itu merupakan bagian dari tanah adat namun perlu dibuktikan secara yuridis.
"Kita buktikan saja di lapangan apakah memang lahan itu merupakan bagian dari tanah ulayat," kata Josef A Nae Soi.
Anggota Komisi IV DPRD NTT, Ana Waha Kolin meminta pemerintah segera menarik aparat keamanan dari Pubabu. "Saya mengimbau kepada Pemerintah Provinsi NTT agar untuk sementara menarik dulu aparat keamanan dari Pubabu, Besipae dan menciptakan situasi kondisi yang aman serta kondusif sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap masyarakat yang adalah warganya sendiri," kata Ana Waha Kolin kepada Antara di Kupang.
Terpisah, Kapolres TTS AKBP Arya Sandi menegaskan, tidak ada tindakan represif terhadap warga di Pubabu. "Tidak ada tindakan represif, petugas tidak ada yang menyentuh masyarakat, apalagi menyakiti," kata Kapolres TTS, AKBP Arya Sandi.
Dia mengemukakan hal itu, menjawab pertanyaan melalui pesan aplikasi WhatsApp berkaitan dengan beredarnya video tindakan represif aparat Brimob terhadap warga Pubabu.
Dalam video yang beredar luas tersebut terlihat ada penembakan yang terjadi pada 18 Agustus 2020 sekitar pukul 11.30 WITA.
Tembakan tersebut guna menggeser warga yang bersikeras untuk tidak ingin keluar dari tempat mereka berkumpul sebab belum ada penyelesaian yang jelas terhadap konflik tanah tersebut.
Warga terus duduk di atas lahan yang mereka klaim sebagai lahan mereka. Oleh karena itu, beberapa orang anggota Brimob menembakkan senjata ke tanah sebanyak tiga kali sehingga mengeluarkan percikan api dan dentuman yang keras dan asap putih.
Tembakan tersebut membuat ibu–ibu dan anak–anak menangis dan berteriak histeris, "Darah Yesus, darah Yesus".
Menurut Kapolres, yang terjadi di Pubabu adalah imbauan agar warga untuk mau direlokasi dari tanah milik Pemprov NTT, yang akan dijadikan sebagai pusat pengembangan pertanian.
"Jadi tidak ada tindakan represif, petugas tidak ada yang menyentuh masyarakat apalagi menyakiti. Yang ada adalah mengimbau agar mereka mau direlokasi dari tanah Pemprov," katanya menjelaskan.
(mdk/cob)