Serangan gereja di Samarinda bukti kegagalan program deradikalisasi
Serangan gereja di Samarinda bukti kegagalan program deradikalisasi. Pelaku teror, Johanda merupakan residivis dalam kasus serupa. Dia merupakan jaringan Pepi yang beraksi di tahun 2011 melalui serangkaian teror bom buku. Pengamat Ridlwan menilai aksi Johanda bukti gagalnya program deradikalisasi.
Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur mendapat teror ledakam bom. Serangan ini dilakukan oleh seorang pria yang berprofesi sebagai penjual ikan bernama Johanda yang diketahui berasal dari Jawa Tengah.
Peneliti terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib menilai serangan itu dipersiapkan secara cermat. "Targetnya sangat spesifik yaitu tempat ibadah (gereja), pelakunya orang yang lama tinggal di sekitar lokasi serangan," kata Ridlwan saat dihubungi merdeka.com, Minggu (13/11).
Menurut Ridlwan, insiden yang menyebabkkan jatuhnya korban anak-anak yang sedang bermain di pelataran gereja ini diduga didalangi oleh jaringan teroris. "Pelaku tidak sendirian, dia dibantu oleh jaringannya. Ini direncanakan dan sudah dipersiapkan," ungkapnya.
Pelaku yang juga merupakan residivis kasus bom buku tahun 2011 ini adalah salah satu anggota kelompok Pepi Fernando. Pepi sendiri sekarang masih di lapas Nusakambangan.
"Pepi berbaiat setia pada Amman Abdurahman, sekarang Amman adalah pimpinan utama kelompok ISIS yang ada di dalam Nusakambangan," kata Ridlwan.
Pelaku, menurutnya, pernah ditangkap polisi di Pare Pare Sulawesi karena membawa bendera ISIS. "Sangat disayangkan kewaspadaan aparat lengah, padahal seharusnya diawasi terus," kata Ridlwan.
Menurut alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI itu, tindakan Johanda ini menambah panjang jumlah kegagalan deradikalisasi. " Tidak ada institusi yang secara spesifik ditugasi untuk memonitor pergerakan residivis setelah bebas," katanya.
Dia menilai program deradikalisasi oleh BNPT masih berupa seremonial. "Seminar dan ceramah saja tidak bisa mengubah hati dan pikiran residivis kembali ke jalan yang benar," kata Ridlwan.
Idealnya, ada pendampingan orang per orang bagi residivis teroris. Namun hal itu membutuhkan banyak biaya dan menyita energi. "Saya kira sudah saatnya diatur dengan tegas," sarannya.