Sidang Dugaan Korupsi PDAM Makassar, Adik Mentan Merasa Dijebak Auditor BPK
Adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo, yang terjerat kasus dugaan korupsi di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, membacakan eksepsi atau bantahan atas dakwaan Jaksa. Dia mengungkapkan temuan kelebihan bayar deviden, tantiem, dan bonus pegawai berdasarkan hasil audit BPK Sulsel.
Adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo, yang terjerat kasus dugaan korupsi di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, membacakan eksepsi atau bantahan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel. Dia mengungkapkan temuan kelebihan bayar deviden, tantiem, dan bonus pegawai berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sulsel.
Penasihat hukum Haris Yasin Limpo, Imran Eka Saputra membacakan eksepsi kliennya mengatakan masalah ini berawal dari adanya pemeriksaan BPK RI Sulsel tahun 2018. Saat itu, auditor BPK Sulsel, Wahid Ikhsan Wahyudin mempersoalkan pembayaran deviden, pembayaran tantiem, dan bonus pegawai, serta penggunaan kas PDAM untuk biaya pensiun.
-
Kapan Ridwan Kamil mencoblos? Hal itu ia sampaikan usai mencoblos surar suara di TPS 45, Jalan Gunung Kencana, Ciumbuleuit, Kota Bandung, Rabu (14/2).
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
-
Kapan Kapolda Kepri mencium istrinya? Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Yan Fitri Halimansyah tertangkap kamera sedang mencium istrinya saat melantik ratusan calon anggota Polri di Polda Kepri.
-
Kapan Tollund Man meninggal? Faktanya, para ilmuwan meyakini dia dibunuh antara tahun 405 dan 380 SM.
-
Kapan korban melapor kasus KDRT? Laporan yang dilayangkan korban pada 7 Agustus 2023 lalu telah diterima Unit PPA Polres Metro Bekasi dan masih dalam proses penyelidikan.
"Saat itu, auditor BPK yang memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemkot Makassar menggunakan acuan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, sama seperti pada Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini, sedangkan PDAM sendiri menggunakan acuan Perda Kotamadya Ujungpandang No 6 Tahun 1974," ujarnya saat sidang di Ruang Harifin Tumpa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, Senin (22/5).
Imran memaparkan bahwa kliennya mencoba menjelaskan alasan perbedaan acuan aturan yang digunakan. "Legal standing PDAM Makassar saat itu belum berbentuk Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), (4), dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017," bebernya.
"Rezim hukum yang mengikat PDAM Kota Makassar ketika itu adalah masih sebagai Perusahaan Daerah yang dibentuk berdasarkan UU No 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah Jo Perda Kotamadya Ujungpandang No 6 Tahun 1974," imbuhnya.
Meski telah dijelaskan, kata dia, mantan auditor BPK Sulsel Wahyu Ikhsan Wahyuddin, yang saat ini menjadi terpidana, tetap bersikeras. Bahkan, Wahyu disebutkan terkadang menanggapi secara lisan dengan berujar kata-kata aneh.
"Oleh karena kata-kata itu dianggap aneh dan bisa saja diartikan jebakan untuk melakukan gratifikasi, sehingga Direksi PDAM tidak menanggapi lebih lanjut. Sehingga tidak lama kemudian, keluarlah Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan yang pada pokoknya menyatakan adanya kelebihan pembayaran mengenai masalah tersebut," sebutnya.
Atas adanya LHP tersebut, maka terdakwa bersama Direksi PDAM lainnya melakukan konsultasi kepada pimpinan BPK RI di Jakarta, dengan kembali menjelaskan pemahaman mereka mengenai perbedaan rezim hukum yang mengikat PDAM. Konsultasi ini kemudian dipahami pimpinan BPK RI, yang selanjutnya hal-hal yang dimaksud dalam LHP BPK tersebut dicatatkan dalam kolom sebagai kategori Tidak Dapat Dilanjutkan dengan Alasan yang Sah.
"Ketika dalam perkara ini kembali dipermasalahkan dugaan kerugian negara yang sama berdasarkan PP No 54 Tahun 2017 tersebut, di mana dulu penyebabnya karena Direksi PDAM tidak mau 'mengerti', maka wajar jika kami tetap mewaspadai kemungkinan jika penyidik dan penuntut umum hanya terpukau setelah membaca dokumen 'sampah' yang berasal dari LHP BPK yang tujuan sebenarnya memaksa untuk dimengerti tersebut," tegasnya.
Ia menilai perkara ini sebagai ironi, di mana kliennya yang tegak pada aturan malah menjadi tersangka. Ia menegaskan kliennya melawan jebakan gratifikasi yang dibahasakan auditor BPK Sulsel.
Sekadar diketahui, Haris Yasin Limpo bersama Irawan Abadi menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan kasus dugaan korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar sebesar Rp20 miliar di Ruang Harifin Tumpa Pengadilan Tipikor Makassar, Senin (15/5). Dalam pembacaan tersebut Haris Yasin Limpo didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
Jaksa Penuntut Umum Kejati Sulsel, Kamaria yang membacakan dakwaan mengatakan Haris Yasin Limpo dan Irawan Abadi didakwa pasal primer 2 ayat 1 junto pasal 12 huruf a UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Selain dakwaan primair, Haris juga didakwa subsidair yakni Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
"Didakwa pasal 2 dan 3 soal pemberantasan tindak pidana korupsi," ujarnya.
(mdk/yan)