Staf Pribadi Ferdy Sambo Mengaku Tak Tahu Penerbitan Sprinlidik Kematian Brigadir J
Pengakuan itu disampaikan Novianto menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai prosedur penerbitan surat penyelidikan termasuk Sprinlidik pembunuhan Brigadir J yang dikeluarkan Ferdy Sambo selaku atasan.
Staf pribadi (Spri) mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Novianto Rifai mengaku tidak mengetahui penerbitan surat perintah penyelidikan (Sprinlidik) kasus pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Pengakuan itu disampaikan Novianto menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai prosedur penerbitan surat penyelidikan termasuk Sprinlidik pembunuhan Brigadir J yang dikeluarkan Ferdy Sambo selaku atasan.
-
Apa sanksi yang diterima Ferdy Sambo? Ferdy Sambo diganjar sanksi Pemecetan Tidak Dengan Hormat IPTDH).
-
Siapa yang memimpin Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Siapa Fredy Pratama? "Enggak (Tidak pindah-pindah) saya yakinkan dia masih Thailand. Tapi di dalam hutan," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa, Rabu (13/3).
-
Bagaimana proses Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Apa yang dilakukan Fredy Pratama? Nur Utami berubah sejak menikah dengan pria berinisial S, yang dikenal sebagai kaki tangan gembong narkoba Fredy Pratama.
-
Dimana Fredy Pratama bersembunyi? Bareskrim Polri mengungkap lokasi dari gembong narkoba Fredy Pratama yang ternyata bersembunyi di pedalaman hutan kawasan negara Thailand.
"Saksi kan Sprinya Kadiv Propam Ferdy Sambo, yang saya tanyakan kebiasaan saudara saksi. Kalau terkait surat misalnya surat perintah itu biasanya, dibuat ditandatangani pada jam kerja atau bisa mendadak malam ditandatangani?" tanya JPU kepada Novianto yang bersaksi dalam sidang perkara dugaan Obstruction Of Justice pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Hendra Kurniawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/12).
"Mendadak, kalau surat perintah mendadak itu kan surat urgent. Biasanya surat urgen yang dibutuhkan tandatangani," jawab Novianto.
Novianto menjelaskan bahwa kategori surat darurat itu bisa diterbitkan di luar prosedur jam kerja mulai pukul 07.00 hingga 15.00 WIB atau mendadak sesuai kebutuhan perintah.
"Malam itu ditandatangani bisa?" tanya JPU.
"Malam itu (bisa) siap," ujar Novianto.
Adapun menurut Novianto, surat perintah (sprin) selain ditandatangani Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri juga bisa ditandatangani pejabat tertinggi lain di Divpropam Polri.
"Kalau misalnya Pak Sambo ada. Kalau semisal tidak ada Pak Sambo?" tanya JPU.
"Pimpinan tertingginya ada KaroProvos, Karopaminal, Karowabprof," ujar Novianto.
"Kalau urgen?" tanya JPU. Yang dibenarkan Novianto "siap."
Setelah mengkonfirmasi terkait dengan prosedur penerbitan surat di Divpropam Polri, JPU lantas mengkonfirmasi terkait surat perintah penyelidikan (sprinlidik) kasus pembunuhan Brigadir J yang dijawab saksi tidak mengetahui.
"Kalau di luar kantor (ditandatangani)?" tanya JPU.
"Tidak pernah seperti itu," ujar Novianto.
"Saksi tahu surat perintah penyelidikan surat perintah yang ditandatangani Hendra Kurniawan tahu tidak?" tanya JPU.
"Tidak tahu (surat sprinlidik)" kata dia
Kubu Hendra Tunjukan Sprinlidik
Sebelumnya, Kubu Hendra lewat tim Penasihat Hukumnya, Henry Yosodiningrat mengkonfirmasi keterangan Radite yang menyimpulkan Hendra dan Agus tidak sesuai prosedur hanya berdasarkan keterangan penyidik.
Lantas dia menampilkan dokumen surat tertulis sebagaimana surat hasil koordinasi antara Divisi Propam Polri dengan Polda Metro Jaya. Dari situ, Radite merasa kaget, karena surat itu tak pernah diperlihatkan kepada dirinya.
"Kalau saya lihatkan ada SP atau laporan informasi khusus tugas penyelidikan full bucket dan mengklarifikasi kebenaran di wilayah hukum Polda Metro Jaya dan berkoordinasi dengan Divisi Propam serta instansi terkait, apakah jawaban saudara tetap begini?" tanya Henry lagi.
"Tidak diperlihatkan," jawab Radite.
"Kalau dilihatkan sama jawabannya (salah prosedur)?" tanya Heny.
Sontak, Hakim Ketua Ahmad Suhel mengkonfirmasi Radite soal keberadaan surat tersebut yang diperlihatkan tim penasihat hukum. Dengan dijawab Radite, kalau surat itu diperlihatkan maka keterangannya soal alasan kesalahan prosedur bisa berubah.
"Pernah diperlihatkan?" tanya Hakim Ketua Ahmad Suhel.
"Tidak," ungkap Radite.
"Kalau dilibatkan, pendapat saudara bakal beda?" tanya Ahmad Suhel lagi.
"Berbeda," jawab Radite.
Dakwaan Obstruction Of Justice
Diketahui, jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mendakwa total tujuh terdakwa yakni Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rahman, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Irfan Widyanto atas perkara dugaan tindakan obstruction of justice atas kematian Brigadir J.
Tujuh terdakwa dalam kasus ini dijerat Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Mereka disebut jaksa terlibat menuruti perintah Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri untuk menghapus CCTV di tempat kejadian perkara (TKP) lokasi Brigadir J tewas.
"Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindak apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya," demikian dakwaan JPU.
Atas tindakan itu, mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP juncto Pasal 55 KUHP.
(mdk/gil)