Telok abang, tradisi unik perayaan 17 Agustus di Palembang
Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tradisi telok abang kembali muncul saat merayakan hari kemerdekaan, 17 Agustus di Palembang. Selain menjadi meriah, tradisi unik ini juga membuat penjual telok abang meraup untung.
Tradisi telok abang sudah turun-temurun berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Seiring perkembangan zaman, tradisi telok abang dilakukan setiap merayakan HUT RI.
Dalam bahasa Palembang, telok berarti telur dan abang berarti merah. Dari dua kata itu disebutkan telok abang adalah telur rebus yang berwarna merah. Dulunya, telur yang biasa digunakan adalah telur bebek, namun berubah menjadi telur ayam.
Agar lebih menarik, telok abang ditancapkan di miniatur perahu, pesawat terbang, mobil-mobilan, dan becak yang terbuat dari jenis kayu gabus. Seiring sulitnya bahan baku, pengrajin menggunakan gabus dan kertas kardus.
Berdasarkan pantauan merdeka.com, puluhan pedagang menjajakan telok abang di Jalan Merdeka, atau tepatnya di seputaran kantor wali kota Palembang. Mereka berjualan setiap hari menjelang HUT RI pukul 09.00-17.00 WIB.
Menurut Sudirman (59), dirinya sudah sepuluh tahun menjual telok abang. Satu telok abang lengkap dengan miniatur alat transportasi dijual berkisar Rp 25 ribu hingga Rp 100 ribu. Harga itu sesuai dengan ukuran dan bentuknya.
"Alhamdulillah setiap tahun laris, banyak yang beli. Orang bilang, 17-an tak lengkap kalau tak beli telok abang," ungkap Sudirman, Selasa (11/8).
Setiap hari, Sudirman yang berprofesi pekerja serabutan itu mampu meraup untung minimal Rp 300 ribu. Namun, para pedagang dan pengrajin mengaku cukup kesulitan mencari bahan baku asli yakni kayu gabus. Sebab, kayu jenis itu makin langkah.
"Kami akali pakai gabus putih, ditempel kertas. Untuk miniatur perahu atau becak pakai kertas. Yang penting bagus dan ada bendera merah putihnya," pungkasnya.
Sementara Amran (45), warga Jalan Sido Ing Lautan, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, membeli telok abang untuk anaknya yang masih duduk di kelas dua SD. Amran bermaksud memberikan pemahaman kepada anaknya tentang tradisi di Palembang.
"Setiap hari lewat ngantar anak sekolah. Dia tanya terus dan pingin beli. Sekalian biar tahu telok abang," pungkasnya.