Tilap uang KKL, PNS Politeknik Semarang dipolisikan mahasiswa
Dana Rp 228 juta itu untuk biaya akomodasi KKL 203 mahasiswa dan 9 dosen pendamping selama lima hari.
Sejumlah mahasiswa Politeknik Negeri Semarang (Polines) Jawa Tengah dari Program Studi (Prodi) D3 Akuntansi, Prodi D3 Keuangan dan Prodi Perbankan Angkatan 2014 Selasa (9/2) petang mendatangi Mapolrestabes Semarang di Jalan Dr Soetomo, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Kedatangan mereka untuk melaporkan Nur Alijad Ahmadi, pemilik biro perjalanan Mega Dewata tur Kota Semarang. Pasalnya, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kampus tersebut diduga menyelewengkan dana Kuliah Kerja Lapangan (KKL) sebesar Rp 228 juta.
Ketua Panitia KKL, Enis Dwi Rizki mengungkapkan dana ratusan juta itu sedianya untuk biaya akomodasi 203 mahasiswa dan sembilan dosen pendamping selama lima hari melaksanakan KKL di Jakarta dan Bandung dengan menggunakan sembilan bus. Namun oleh pengusaha tersebut ternyata uang yang sudah dibayarkan itu tidak digunakan sesuai dengan kebutuhan.
"Kami berangkat 1 Februari 2016 lalu. Uang ternyata tidak dibayarkan ke hotel tempat kami menginap, katering serta kebutuhan lain yang dijanjikan biro perjalanan itu sesuai dengan kesepakatan," tegas Enis Dwi Rizki saat melapor di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolrestabes Semarang Selasa (9/2).
Akibat perbuatan Ahmadi, membuat rombongannya tersebut terlantar hingga sempat dikeluarkan dari hotel tempat menginap. Tak hanya itu KKL yang rencananya berjalan lima hari hanya sampai tiga hari. "Kami juga batal ke Bandung hanya ke Jakarta saja, padahal rencana awal ada kunjungan ke Bandung," ungkapnya.
Mahasiswi semester 4 tersebut mengaku sudah menaruh curiga saat awal keberangkatan rombongannya. Sebab dia menemukan beberapa keganjilan.
"Sepertinya pihak tur belum siap, bener dan spanduk belum dipasang, kru bus juga tidak ada koordinasi. Lalu, bus yang dijanjikan tidak sesuai," jelasnya.
Kecurigaan semakin menguat saat Sariyanto, perwakilan dari pihak biro yang menjadi pendamping memutuskan untuk mengundurkan diri di tengah perjalanan. Keputusan tersebut diambil lantaran pria tersebut mengaku sudah tidak punya uang lagi untuk biaya akomodasi.
"Dia mengaku menggunakan uang pribadi sebab, pemilik tur tidak memberikan yang untuk akomodasi. Tak hanya itu, saat tiba di hotel di Jakarta rombongan kami juga terkejut dari pihak hotel mengatakan uang pembayaran belum dilunasi, baru uang muka saja. Malam harinya saat hendak istirahat, pintu kamar kami diketuk dan pihak hotel meminta kami untuk iuran untuk melunasi pembayaran kalau tidak kami harus keluar dari hotel," ungkapnya.
Untungnya, lanjut Enis membeberkan pihak dosen yang ikut mendampingi rela mengeluarkan uang pribadinya sebesar Rp 24 juta untuk menutup kekurangan pembayaran terlebih dahulu. "Sudah ditutup timbul masalah baru, ternyata katering belum dibayar. Pemilik katering marah dan sempat mengancam kalau bus tidak akan bisa keluar sebelum dilunasi," bebernya.
Melihat Situasi itu Enis dan panitia lainnya mencoba menghubungi pemilik biro tersebut. Namun berulang kali dihubungi tidak juga aktif. "Awal berangkat masih bisa dihubungi. Saat kami komplain dia malah bilang kalau biro memang begitu pelunasan bayarnya nanti selesai tur, setelah itu handphone sudah tidak aktif," ungkapnya.
Usai tiba di Semarang dia dibantu dosen juga mencoba mendatangi kantor biro tersebut di Penggaron Regency, Penggaron dan di rumah pengusaha tersebut. Namun Ahmadi sudah tidak ada di tempat. Akhirnya, pihak panitia memutuskan untuk melaporkan Ahmadi. Oleh petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polrestabes Semarang, laporan tersebut diarahkan ke Polsek Tembalang.
"Kami berharap kasus tersebut ditangani serius oleh Polsek Tembalang dan bisa ditangkap pelakunya karena telah merugikan kami," pungkasnya.