TNI AU: Atribut militer bukan buat bergaya, bahaya buat sipil
Duplikasi atribut militer juga bisa 'melukai' hati prajurit. Mengapa? Ini penjelasannya.
Demi menghindari jeratan hukum, hampir sebagian besar warga sipil nekat menggunakan seragam atau atribut militer saat berada di jalanan umum. Padahal, tanpa disadari penggunaan atribut ini bisa membahayakan jiwa dan raganya jika tak segera dihentikan.
"Selain melanggar hukum, penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil, sejatinya sangat membahayakan dirinya, karena bila terjadi konflik militer mereka dapat menjadi sasaran tembak kelompok militer dalam konflik bersenjata," jelas Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara, Marsekal Pertama Dwi Badarmanto dalam siaran pers yang diterima merdeka.com, Rabu (16/12).
Dalam Konvensi Jenewa yang ditandatangani pada 1949, guna memberikan perlindungan terhadap warga sipil, para penggagasnya ingin memberikan perlindungan terhadap warga sipil. Sebab, mereka kerap menjadi korban dalam konflik bersenjata antar kelompok tertentu. Pembagian itu tertuang dalam Distinction Principle (prinsip perbedaan).
Dalam situasi perang, penduduk dibagi dalam dua kelompok, yakni combatan (kombatan) dan civilian (masyarakat sipil). Dalam kesehariannya, perbedaan mereka tampak jelas dari pakaian dan atribut yang dikenakannya. Combatan menggunakan seragam dan atribut militer, sedangkan civilian menggunakan seragam dan atribut sipil.
"Kombatan dengan seragam dan atribut militer yang dikenakan menjadi petunjuk bahwa mereka adalah kelompok yang secara aktif ikut dalam medan perang, sehingga legal untuk menyerang atau diserang, menembak atau ditembak atau bahkan membunuh atau dibunuh. Sementara sipil dengan pakaian dan atribut yang dikenakannya, merupakan kelompok yang tidak boleh ikut serta dalam perang, sehingga tidak boleh menjadi sasaran kekerasan, bahkan mereka punya hak untuk mendapat perlindungan dalam konflik bersenjata."
Atas alasan itu, dia merasa aneh dengan kelakuan masyarakat sipil yang ikut-ikutan menggunakan seragam dan atribut militer, karena tindakan dapat membahayakan mereka. Bila terjadi konflik militer di Indonesia, maka sipil dengan pakaian dan atribut militer juga akan menjadi sasaran kekerasan, sehingga sah untuk diserang, ditembak atau dibunuh oleh pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata.
Guna menghindari korban dari sipil menjadi sasaran kekerasan dalam konflik militer, Badarmanto menyarankan agar penggunaan seragam dan atribut militer oleh warga dihentikan. Penghentian ini harus dipahami baik oleh combatan dan civilian sebagai gerakan moral dalam rangka melindungi civilian dari tindak kekerasan militer.
Bagi TNI, penggunaan perlengkapan militer diatur dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/346/X/2004 tanggal 5 Oktober 2004 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian Dinas Seragam TNI dan Peraturan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor Perkasau/130/XII/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian dinas seragam TNI AU. Tujuannya untuk memelihara soliditas prajurit, meningkatkan rasa disiplin, membangun citra institusi dan sekaligus tanggung jawab prajurit.
"Dengan demikian, penggunaan pakaian seragam dan atribut militer oleh prajurit TNI AU/TNI tentunya bukan untuk tujuan gagah-gagahan, tetapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer sebagai combatan terhadap institusi nonmiliter sebagai civilian," jelasnya.
Atas alasan itulah, penggunaan atribut militer bagi institusi sipil baik pemerintah maupun swasta perlu dikaji kembali dari segi landasan hukum serta alasannya. Bila tidak ada alasan mendasar, sudah saatnya tindakan ini dihentikan, artinya penggunaan seragam dan atribut militer agar dikembalikan sesuai fungsinya.
Badarmanto menambahkan, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil di lingkungan Kemenhub, Kemenkum HAM, Polsuska membawa dampak kurang baik di internal TNI. Duplikasi itu dianggap telah 'melukai' hati prajurit TNI, yang dapat berimplikasi pada turunnya moril prajurit, karena tidak ada lagi kebanggaan terhadap seragam dan atribut yang dipakainya, karena tidak ada bedanya dengan instansi sipil.
Sedangkan, dari segi eksternal duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer dapat menimbulkan image negatif bagi prajurit atau institusi militer. Kondisi itu bisa terjadi bila masyarakat sipil yang menggunakan seragam dan atribut militer melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Masyarakat awam, akan beranggapan pelakunya adalah prajurit TNI, karena tidak dapat membedakan mana prajurit asli dan sipil.
"Untuk mempercepat pengembalian penggunaan seragam dan atribut militer sesuai fungsinya, sudah saatnya semua pihak yang berkompeten di bidang ini untuk segera duduk bersama, berkoordinasi dan mencari solusi terbaik atas penggunaan seragam dan atribut militer di kalangan sipil. Beberapa lembaga yang berkompeten itu, antara lain Kemenpolhukam, Kemendagri, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Kepolisian RI serta Mabes TNI," tutupnya.