Tradisi 'Uang Panaik' di Sulsel memicu tindakan kekerasan seksual
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menilai tradisi Uang Panaik di Sulawesi Selatan berpotensi menjadi pemicu kekerasan seksual bagi perempuan. Sebab, adanya tradisi ini seolah melegalkan adanya tindak kekerasan.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menilai tradisi Uang Panaik di Sulawesi Selatan berpotensi menjadi pemicu kekerasan seksual bagi perempuan. Sebab, adanya tradisi ini seolah melegalkan adanya tindak kekerasan.
Uang Panaik merupakan mahar disepakati kubu pria dan wanita untuk sebuah hubungan pernikahan. Lantaran tingginya jumlah dibanderol, terkadang terjadi tindak kekerasan seksual. Alasan itu bahkan kerap digunakan para pelaku kekerasan sehingga meringankan hukuman.
"Saya tidak memerkosa karena dasar suka sama suka. Saya mau menikahinya, saya mau bertanggung jawab tapi uang panaik mahal sekali. Alasan seperti itu yang kerap terjadi di tengah masyarakat Sulsel padahal apapun alasannya, tindak perkosaan tidak boleh terjadi. Coba saja ditelusuri dari awal kasusnya, biasanya tindak perkosaan terjadi karena ada tekanan. Ancaman hubungan diputuskan, itu juga salah satu bentuk tekanan," jelas Direktur LBH APIK, Rosmiati Sain di Makassar, Selasa (8/11).
Menurutnya, alasan uang panaik harus didiskusikan lagi sehingga tidak berujung tindakan melanggar hukum. "Antar wilayah itu punya kekhasan masing-masing terkait kasus-kasus kekerasan seksual. Kita akan ajukan perihal uang panaik yang khas dari Sulsel ini ke pusat, ke perancang RUU ini untuk didiskusikan. Sehingga jika di masa mendatang, ditemukan kasus seperti ini, kita sudah bisa mencounternya," ungkapnya.
Penyidik dari Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar, Briptu Wahyu, menuturkan masih ada perbedaan pandangan antara pihaknya dengan Jaksa maupun Hakim terkait barang bukti kekerasan seksual. Menurut aturan, akta dia, salah satu alat bukti dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan.
Untuk hal ini, lanjut dia, perlu kesamaan persepsi antara penegak hukum, yakni penyidik kepolisian, jaksa, hakim. Sehingga selaku penyidik tidak memasukkan itu sebagai alat bukti, tetapi tidak diterima jaksa maka berkas akan bolak balik.
"Olehnya butuh diskusi-diskusi bersama untuk menyamakan persepsi agar tujuan dari undang-undang ini kelak bisa tercapai," kata Wahyu.