Wali Kota Risma: Kalau sekadar tutup Dolly, sekarang juga bisa
"Tapi masalahnya, kami harus menyiapkan tindakan pasca-penutupan. Pengkondisian itu yang jauh lebih berat," kata Risma.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kembali menegaskan, lokalisasi Gang Dolly harus rata dengan tanah paling lambat sebelum bulan Ramadan 2014. Bagi Pemkot Surabaya, penutupan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu, sejatinya bukan hal yang sulit.
Namun, kata Risma, yang perlu mendapat perhatian lebih dari Pemkot Surabaya adalah pengkondisian pasca-penutupan lokalisasi itu.
"Kalau sekadar menutup saja, sekarang pun bisa. Tapi masalahnya, kami harus menyiapkan tindakan pasca-penutupan. Pengkondisian itu yang jauh lebih berat karena sangat menentukan keberlanjutan kawasan tersebut," kata perempuan kelahiran Kediri tersebut, Senin (9/12).
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Pemkot Surabaya, Agus Imam Sonhaji dalam konferensi persnya mengatakan, pihaknya telah menyiapkan anggara Rp 25,2 miliar untuk merehabilitasi pembangunan di empat wilayah eks lokalisasi yang telah ditutup.
"Untuk lokalisasi Dolly, kami masih melakukan pengecekan secara detail, berapa yang kami anggarkan untuk merehabilitasinya. Tentu anggarannya juga sangat besar," kata Sonhaji di Balai Kota Surabaya.
Dana itu, lanjut dia, diperuntukkan khusus bagi rencana rehabilitasi eks lokalisasi Klakah Rejo, Sememi, Morokrembangan dan Dupak Bangunsari.
"Dana tersebut digunakan untuk membangun pasar, sentra PKL, dan sejumlah sarana fasilitas umum lainnya. Dengan demikian, warga penghuni eks lokalisasi mendapat peluang kerja untuk memenuhi kebutuhan ekonominya," katanya lagi.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Sosial Pemkot Surabaya, Supomo juga menegaskan, terkait upaya revitalisasi Gang Dolly, pihaknya tidak memerlukan persetujuan dari warga, meski ada ancaman penentangan.
"Seperti yang ditegaskan Bu Wali ( Tri Rismaharini ), proses penutupan lokalisasi tetap terus berjalan kendati tanpa persetujuan warga," katanya meneruskan instruksi Risma.
Sebab, kata Supomo, berdasar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 1999 disebutkan, kawasan tersebut berfungsi sebagai rumah tinggal, bukan tempat prostitusi.
"Atas dasar Perda tersebut Pemkot Surabaya berhak mengambil tindakan tegas demi kebaikan kota. Sehingga untuk penutupan lokalisasi itu tidak diperlukan persetujuan apa pun," tegas Supomo.
Dijelaskan Supomo, salah satu alasan kuat Wali Kota Risma ingin segera merombak kawasan Dolly dan menjadikannya sebagai lokasi sentra bisnis, adalah keprihatinan akan kondisi sekolah.
"Bu Wali beberapa kali mengunjungi sekolah yang terletak di kawasan prostitusi. Hasilnya miris. Anak-anak di lingkungan lokalisasi cenderung minder, malu, rendah diri, dan lebih parah lagi ada yang sampai frustasi. Belum lagi, geliat bisnis prostitusi akan mempengaruhi tumbuh kembang anak yang tinggal di sekitarnya. Dan itu pasti menimbulkan dampak buruk bagi psikologis anak," katanya.
Sementara terkait makin menjamurnya bisnis prostitusi terselubung pasca-penutupan, Supomo menegaskan, kalau pihaknya tetap akan melakukan kontrol yang ketat.
"Pemkot tidak melakukan penutupan saja, tapi juga memberi solusi. Kalaupun masih ada, atau penutupan ini menimbulkan dampak, tentu kita tidak akan tinggal diam," janjinya.
Misalnya, bisnis karaoke makin menjamur dan digunakan sebagai tempat mesum, atau hotel-hotel yang disewakan untuk prostitusi, tentu akan ditindak.
"Ini menyalahi izin, dan akan kami tindak dengan tegas. Kemudian melubernya ke jalan-jalan, kita ada Satpol PP yang akan mengawasi. Kalau ada yang melakukan, akan kita tangkap, baik si PSK maupun si pembelinya. Tentu isterinya, bagi mereka yang sudah berkeluarga akan kita panggil juga. Itu akan menjadi efek jera bagi lelaki yang suka jajan," seloroh Supomo menutup pembicaraan sambil tertawa kecil.