5 Alasan pilkada serentak harus diundur sampai 2016
Berdasarkan Perppu 1/2014, pilkada serentak akan digelar para Desember 2015.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu 1/2014) mengatur 'Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2015'. Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan pilkada serentak, yang meliputi 7 provinsi dan 181 kabupaten/kota akan dilaksanakan pada Desember 2015.
Namun, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2015 itu penuh risiko karena waktu perencanaan dan persiapan yang pendek, kurang dari 1 tahun. Padahal praktik pemilu di manapun, idealnya perencanaan dan persiapan pemilu setidaknya 2 tahun. Apalagi pilkada serentak yang meliputi setidaknya 188 daerah ini merupakan pengalaman pertama. Padahal, dibandingkan pemilu legislatif dan pemilu presiden, pilkada lebih sering menimbulkan kekerasan dan konflik horisontal.
"Oleh karena itu, jadwal pilkada serentak perlu diundur, setidaknya 6 bulan lagi, menjadi Juni 2016," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat melakukan diskusi dengan komisioner KPU di Jakarta, Senin (23/12).
Perludem pun membeberkan sedikitnya lima alasan mengapa pilkada serentak seharusnya diundur. Berikut rangkumannya:
-
Apa yang dimaksud dengan Pilkada? Pilkada adalah proses demokratis di Indonesia yang memungkinkan warga untuk memilih pemimpin lokal mereka, yaitu gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya.
-
Apa itu Pilkada? Pilkada merupakan singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah. Pilkada dilakukan untuk memilih calon kepala daerah oleh penduduk di daerah administratif setempat yang memenuhi persyaratan.
Waktu persiapan yang mepet
Berdasarkan pengalaman selama ini, praktik pemilu di manapun, idealnya perencanaan dan persiapan pemilu setidaknya 2 tahun sebelum digelar. Apalagi pilkada serentak yang meliputi setidaknya 188 daerah ini merupakan pengalaman pertama. Padahal, dibandingkan pemilu legislatif dan pemilu presiden, pilkada lebih sering menimbulkan kekerasan dan konflik horisontal.
Pilkada selalu rawan konflik dan kekerasan, sehingga pengamanan harus betul-betul diperhitungkan. Sebelumnya, banyak kepala daerah yang memainkan APBD untuk mengintervensi penyelenggara, sehingga menimbulkan kekacauan penyelenggaraan pilkada. Oleh karena itu, jika pilkada serentak Desember 2015 tetap bersumber pada APBD, maka kekacauan peyelenggaraan pilkada akan terulang, sehingga jalan terbaik adalah mengundurkan jadwal pilkada ke Juni 2016 agar bisa mengambil dana dari APBN.
Menciptakan siklus pemilu yang ideal
Alasan utama pilkada serentak diundur sampai Juni 2016 adalah demi menciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal. Jadwal pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada selama ini telah menimbulkan kesemrawutan politik, sehingga mengacaukan tatanan politik, merusak rasional pemilih, menciptakan konflik internal partai politik berkelanjutan, meningggikan biaya politik yang harus ditanggung partai politik dan calon, memboroskan dana negara, dan membebani penyelenggara.
Oleh karena itu perlu diciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal, di mana jadwal pemilu lima tahunan bisa mengatasi masalah-masalah tersebut.
Mengurangi kejenuhan pemilih
Dalam tiga pemilu terakhir, pemilu legislatif jatuh pada bulan April, pemilu presiden putaran pertama pada Juli, dan pemilu presiden putaran kedua pada September. Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan, bahwa pemilu serentak legislatif dan presiden akan diselenggarakan pada 2019, sehingga pemilu legislatif dan pemilu presiden (putaran pertama) bisa digelar pada Juni 2019, dan jika terdapat pemilu presiden putaran kedua bisa digelar pada Agustus 2014. Jika pemilu legislatif dan presiden (putaran pertama) digelar pada Juni 2019, maka pilkada serentak seharusnya digelar pada Juni 2021.
Karena jarak ideal antara pemilu legislatif dan presiden serentak dengan pilkada serentak adalah 2 tahun, maka untuk memulainya, pilkada serentak tahap pertama perlu diundur pada Juni 2016; selanjutnya, seperti diatur dalam Perppu No 1/2012, pilkada serentak tahap kedua, tetap dilaksankan pada Juni 2018, sehingga jadwal pilkada serentak nasional bisa tercapai pada Juni 2021, yang berarti dua tahun setelah pemilu legislatif dan presiden serentak 2019. Dengan jadwal ini, maka agenda politik lima tahunan menjadi jelas, sehingga sistem politik semakin tertata.
Pemilih kehilangan rasionalitasnya
Jarak waktu yang pendek antara pemilu legislatif dan pemilu presden, dengan pilkada serentak, belum mampu menghilangkan kejenuhan pemilih dalam mengikuti pemilu. Selain kejenuhan, jarak waktu yang pendek, juga membuat pemilih kehilangan rasionalitasnya dalam memberikan suara. Diperlukan waktu setidaknya 2 tahun agar pemilih mengetahui pasti kinerja hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden, sehingga dalam pilkada mereka akan memberi ganjaran dan hukuman yang tepat pada partai politik dan calon. Memudahkan pemilih bersikap rasional dapat mempertahankan partisipasi pemilih dalam pemilu
Kedua, memberi waktu yang cukup buat partai politik untuk konsolidasi. Pencalonan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden selalu menimbulkan konflik internal partai politik. Oleh karena itu, partai politik harus diberi waktu yang cukup untuk mengkonsolidasikan diri, sehingga konflik internal partai politik tidak berkelanjutan. Sebaliknya, dengan waktu yang cukup untuk berkonsolidasi, partai politik bisa tenang membangun koalisi, sehingga akan tampil calon-calon terbaiknya dalam pilkada.
KPU punya waktu persiapan
Pilkada serentak menyaratkan persiapan yang matang. KPU sebagai penyelenggara butuh waktu untuk menata organisasi, merencanakan dan mempersiapkan penyelenggaraan pilkada. Pilkada serentak yang melibatkan ratusan daerah adalah pengalaman pertama bagi KPU dan jajarannya.
Masalah lain yang dihadapi oleh KPU adalah harus menata organisasi dan melakukan rekrutmen kembali, mengingat banyak anggota KPU daerah yang tersangkut kasus pelanggaran kode etik dan pidana.
Pemungutan suara pada awal Juni memberi ruang bagi penyelenggara pemilu untuk merencanakan dan mengelola dana APBN lebih leluasa. Kedua, KPU dan jajarannya tidak mengalami hambatan dalam pengadaan dan pendistribusian surat suara dan perlengkapannya, karena pada waktu itu kondisi cuaca relatif baik: tidak sedang musim hujan di darat, juga tidak sedang musim angin di laut. Jika pemilihan presiden mengharuskan adanya putaran kedua, masih tersedia waktu, yakni diselenggarakan pada awal Agustus 2019, sehingga presiden terpilih masih memiliki waktu setidaknya dua bulan untuk mempersiapkan pembentukan pemerintahannya.