Analisis Gibran Tinggi di Survei Pilpres: Jokowi Effect hingga Rakyat Tak Terpengaruh Isu Politik DInasti
Elektabilitas Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres naik signifikan mengalahkan Mahfud MD dan Cak Imin.
Elektabilitas Gibran teratas dengan selisih besar dibandingkan Mahfud MD dan Cak Imin.
Analisis Gibran Tinggi di Survei Pilpres: Jokowi Effect hingga Rakyat Tak Terpengaruh Isu Politik DInasti
Elektabilitas Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres naik signifikan. Litbang Kompas merilis elektabilitas Gibran teratas dengan selisih besar dibanding kandidat lainnya yakni Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar.
- Survei Terbaru Ganjar-Mahfud Anjlok, Pakar Komunikasi: Sering Kritik Presiden Jokowi
- Elektabilitas Prabowo-Gibran Naik, Poltracking Ungkap Jokowi Effect Paling Berpengaruh
- Survei LSI Denny JA: Kepuasan Publik Terhadap Jokowi Stabil Meski Dikritik Isu Dinasti Politik Usai Putusan MK
- Survei Litbang Kompas: Gibran Maju Cawapres, 60,7 Persen Nilai Bentuk Politik Dinasti
Gibran meraih 37,3% suara responden, Mahfud meraih 21,6% suara responden dan Muhaimin Iskandar (Gus Imin) meraih 12,7% suara responden.
Pengamat politik Trias Politika Strategis Agung Baskoro menjelaskan setidaknya tiga faktor di balik tingginya elektabilitas survei pasangan capres-cawapres nomor urut 2.
Pertama, cawapres Gibran mendapat ‘Jokowi Effect’ yang membuat elektabilitasnya kian tinggi jelang Pilpres 2024. "(Pertama) ada faktor Jokowi Effect. Jokowi Effect itu masih kuat, karena kita tahu approval rating Pak Jokowi hari ini 70 sampai kisaran 80 (persen) tingkat kepuasan publik atas kinerjanya," ujar Agung kepada merdeka.com, Senin (11/12).
Menurut Agung, publik yang puas dengan kinerja Jokowi paling banyak mendukung Prabowo-Gibran. Meskipun, kata Agung, Gibran belum matang sebagai cawapres. Hal tersebut terlihat saat Gibran blusukan kampanye ke warga.
"Jadi, lebih ke (saat) Gibran maju, publik masih melekatkan kesuksesan atau keberhasilan Pak Jokowi pada diri Gibran. Terlepas Gibran mungkin kualitasnya masih belum optimal dalam konteks ketika nanti dia merespons pertanyaan wartawan doorstop, ketika blusukan dia ditanya warga, ketika diskusi dia enggak dateng, itu nggak sebanding dengan kesuksesan kinerja Pak Jokowi hari ini,” lanjutnya.
Faktor kedua adalah seluruh mesin partai politik koalisi Prabowo-Gibran bergerak lebih solid ketika melakukan kampanye.
"Secara institusional, suka atau tidak, koalisinya Prabowo-Gibran ini solid ketimbang koalisinya Ganjar-Mahfud. Karena ketika Prabowo-Gibran sedang melaksanakan tugas sebagai pejabat publik, maka tim kampanyenya bahu membahu untuk melakukan kampanye di seluruh Indonesia," jelasnya.
Agung menambahkan, isu politik dinasti juga menjadi faktor meningkatnya elektabilitas pasangan nomor urut 2. Isu politik dinasti dianggap termasuk isu elite atau kalangan menengah ke atas. Sehingga, publik tidak terlalu terpengaruh dengan isu politik dinasti Jokowi.
"Suka atau tidak, cerita politik dinasti atau cerita soal Gibran itu kan cerita elite atau cerita kelas menengah ke atas, yang itu jumlahnya hanya 30% dari total populasi atau DPT, sisanya kan masyarakat menengah ke bawah. Jadi, isu ini tuh isu elite ya,” sebutnya.
Dia menyampaikan isu tersebut sebetulnya dapat menjadi taktik bagi pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk mengetahui kelemahan lawannya.
"Jadi ini memang pekerjaan rumah bagi Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin untuk menjelaskan bagaimana kelemahan lawannya, istilahnya ini negative campaign,”
kata dia.
merdeka.com
Adapun, dalam konteks Ganjar, apabila taktik tersebut dilakukan, akan menjadi disinsentif elektoral. "Tapi, dalam konteks Ganjar, ketika ini dilakukan malah jadi disinsentif elektoral, karena PDIP-nya enggak komit, enggak konsisten karena masih ada di kabinet,” ujar Agung.
Dengan demikian, Agung menyimpulkan tiga faktor yang menjadi alasan elektabilitas Gibran kian tinggi. Selain Jokowi Effect, mesin politik dari koalisi Prabowo-Gibran yang moncer juga menjadi jawaban dari anomali ini. Faktor yang paling krusial adalah isu politik dinasti yang tidak menyentuh akar rumput.
"Jadi, saya melihat anomali kenapa (elektabilitas) Gibran tetap tinggi ya karena, pertama, ada Jokowi Effect di sana soal approval rating. Kedua, karena mesin politik bekerjanya sangat optimal sehingga bisa menutupi kekurangan Gibran, yang dimunculkan adanya Prabowo. Ketiga, yang paling krusial sebenarnya adalah anomali ini terjadi karena isu politik dinasti ini tidak menyentuh akar rumput," pungkasnya.