Jika Pemilu Serentak 2024, Petugas KPPS Terbayang Beban dan Berguguran Seperti 2019
Dalam revisi UU Pemilu mengatur tentang normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Sementara apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) gelaran pemilihan kepala daerah bakal dilakukan 2024, berbarengan dengan Pemilu nasional.
Rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017 memantik perdebatan di Komisi II DPR, mitra kerja Kementerian Dalam Negeri selaku instansi pemangku kebijakan Pemilu. Ada yang setuju revisi dilakukan, dan sebaliknya.
Dalam revisi itu mengatur tentang normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Sementara apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) gelaran pemilihan kepala daerah bakal dilakukan 2024, berbarengan dengan Pemilu nasional.
-
Apa itu Pemilu? Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat pemilu adalah suatu proses atau mekanisme demokratis yang digunakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan cara memberikan suara kepada calon-calon yang bersaing.
-
Apa arti Pemilu? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa yang dimaksud dengan Pemilu? Pemilu adalah proses pemilihan umum yang dilakukan secara periodik untuk memilih para pemimpin dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
-
Kenapa AHY meminta revisi UU Pemilu menjadi prioritas? Ini sebuah concern bersama yang harus kita kawal. Jadi nanti kalau sudah tenang semuanya, bersama teman teman fraksi DPR RI ke depan kita bicara bagaimana kita memperbaiki sistem pemilu. Sebelum bicara perubahan undang-undang yang lain bicarakan ini dulu
-
Apa tujuan utama dari Pemilu? Tujuan utama dari pemilu adalah menciptakan wakil-wakil yang dapat mencerminkan aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai masyarakat.
Rencana revisi UU Pemilu itu turut ditanggapi petugas KPPS saat Pilkada serentak 2019. Tambahan beban kerja dengan waktu istirahat yang singkat pada Pilkada serentak 2019 masih menjadi kekhawatiran petugas KPPS.
Seperti yang dirasakan Umi (28), yang pernah menjadi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di Bekasi, bercerita pengalamannya saat perhelatan Pemilu dan Pilkada pada 2019 sangat melelahkan. Waktu untuk beristirahat pun, menurut Umi sangat singkat.
"Untuk beban tugas sebenarnya tidak berat karena dikerjakan bersama-sama, cuma menjadi berat karena istirahat terbatas, peserta banyak dan memang tidak bisa istirahat lama-lama," kata Umi, Senin (1/2).
Himpitan target waktu, jumlah peserta yang banyak, kertas-kertas suara, juga dianggap Umi menjadi faktor tugas KPPS saat pemilu serentak 2019, banyak yang tumbang kelelahan. Umi mengaku sangat kelelahan bertugas sejak pukul 7 pagi sampai 12 malam, dengan waktu istirahat yang sangat hemat.
"Kondisi saya masih lebih baik, ada petugas KPPS bagian distribusi kotak suara baru selesai jam 2 dini hari," cerita dia.
Jika dapat memilih, ibu dari calon dua anak ini berharap agar Pilkada tidak dilakukan pada 2024, melainkan 2022.
Harapan Umi juga diaminkan Ali (28) yang menjadi petugas KPU wilayah Jakarta Utara. Kendati tahun tersebut DKI Jakarta tidak melaksanakan pemilihan gubernur, target waktu menyebabkan tugas sangat berat. Ia pun memilih agar Pilkada dilakukan pada 2022 dibanding 2024.
"Kalau diserentakan tahun 2024 bakal lebih berat terhadap psikologis penyelenggara," kata Ali.
Hal lain yang menambah berat tugas menurut Ali adalah persiapan logistik yang sangat banyak, karena kertas surat suara untuk Pilgub, Pileg, dan Pilpres. Belum lagi jika terdapat sela terhadap pengawasan.
Ali juga sepakat bahwa himpitan target waktu perhelatan Pemilu sangat berdampak terhadap fisik, dan psikis petugas.
"Waktu 2019 di tingkat kecamatan yang saya alami sangat berat sekali khususnya di fisik, fikiran, dan waktu yang sangat mepet," ujarnya.
Isyarat Presiden Jokowi
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengisyaratkan menolak revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam revisi itu mengatur tentang normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023.
Dalam rapat dengan para parpol pendukungnya, Jokowi memberikan sinyal menolak adanya normalisasi Pilkada. Artinya, Jokowi tetap ingin pilkada digelar serentak dengan pemilu nasional pada 2024.
"Beliau mengatakan, UU Pemilu itu lebih baik jangan setiap periode itu diganti-ganti lah. Ya dia kan berdiskusi, menyampaikan kenapa kok setiap pemilu itu UUnya selalu berubah. Belum kita bisa menyesuaikan, udah diganti lagi diganti lagi," kata Politikus PPP Ade Irfan Pulungan yang hadir saat pertemuan dengan mantan juru bicara tim kampanye nasional, Kamis (28/1) lalu. Sebanyak 15 orang anggota TKN diundang Jokowi ke Istana Negara.
Pro dan kontra terjadi dalam upaya Komisi II DPR melakukan revisi UU Pemilu di parlemen. Demokrat, PKS, NasDem setuju dengan normalisasi Pilkada. Sementara PDIP, PPP, PAN, Gerindra, PKB menolak revisi UU Pemilu.
Sementara Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi mendukung Pemilu Nasional tak digelar serentak dengan Pilkada. Dia bicara tentang beban kerja yang luar biasa bagi penyelenggara.
Pramono menyinggung beban kerja pada Pemilu 2019. Dia ingin Pilpres, Pileg DPR RI, dan DPD RI dipisah dengan Pilkada, Pileg DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Hal ini akan mengurangi beban penyelenggaraan seperti Pemilu dengan lima surat suara pada 2019.
"Jadi membagi tiga dan empat surat suara tidak akan seberat beban penyelenggaraan Pemilu Nasional 2019," ujar Pramono dalam webinar Fraksi PAN DPR RI secara daring, Senin (25/1).
Menengok ke belakang, menurut Ketua KPU Arief Budiman, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit dalam gelaran Pemilu 2019.
Arief mengusulkan penggunaan e-rekapitulasi untuk membuat proses penghitungan lebih cepat dan tidak membuat petugas kelelahan.
"Beban kerja yang kemarin berat di Pemilu 2019, kita usulkan dan sedang on going proses penggunaan e-rekapitulasi," ujarnya.
Selain itu, Arief juga ingin ada salinan untuk peserta dalam bentuk digital. Hal itu dilakukan untuk membuat proses pemilu menjadi ramah lingkungan.
"Untuk jangka panjang 2024 kita juga menyusulkan salinan dalam bentuk digital. Jadi kita enggak membutuhkan kertas yang banyak itu," ucap Arief.
Data Kemenkes mencatat, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah mencapai 11.239 orang. Petugas yang dinyatakan meninggal mencapai 527 jiwa. Jumlah tersebut dari hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019.
Berdasarkan laporan dinas kesehatan di setiap provinsi menunjukkan jumlah petugas Pemilu yang meninggal terbanyak ada di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 177 jiwa, diikuti Jawa Timur 82 jiwa, dan Jawa Tengah 44 jiwa.
Sisanya, di Sumatera Barat satu jiwa, Bengkulu 7 jiwa, Kepulauan Riau empat jiwa, Lampung 23 jiwa, Sumatera Selatan 25 jiwa, Jambi enam jiwa, Riau tujuh jiwa, Banten 29 jiwa, DKI Jakarta 18 jiwa, Jawa Barat 177 jiwa, Jawa Tengah 44 jiwa, Jawa Timur 82 jiwa, Yogyakarta 10 jiwa, Kalimantan Tengah enam jiwa, Kalimantan Timur enam jiwa, Kalimantan Selatan delapan jiwa, Kalimantan Barat 26 jiwa, Gorontalo tidak ada, Bali dua jiwa, NTB tujuh jiwa, Sulawesi Utara dua jiwa, Sulawesi Tenggara enam jiwa, Maluku Utara tidak ada, dan Maluku dua jiwa.
Penyebab terbanyak kematian di Jawa Barat adalah gagal jantung dengan jumlah 24 jiwa, begitupun di Jawa Timur yang jumlahnya 11 jiwa.
Berbeda dengan Jawa Tengah, penyebab kematian terbanyak di sana adalah infarct myocard sebanyak tiga jiwa. Penyakit lainnya berupa koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, kegagalan multi organ, dan satu lagi disebabkan oleh kecelakaan.
Sementara untuk petugas Pemilu sakit yang mencapai 11.239 disebabkan sembilan jenis penyakit, yakni Hipertensi Emergency, Diabetes, Asma, Dispepsia, Gastritis, infeksi saluran kemih, typoid, syncope, dan stroke. Secara kumulatif, usia petugas yang sakit paling banyak berkisar antara 30-39 tahun.
Baik petugas yang meninggal maupun yang sakit, keduanya disebabkan oleh penyakit tidak menular yang memiliki kasus tinggi di Indonesia. Dalam 30 tahun terakhir ini, terjadi perubahan pola penyakit yang disebabkan berubahnya perilaku manusia. Pada tahun 1990-an, penyebab kematian dan kesakitan terbesar adalah penyakit menular.
Sejak tahun 2010 penyebab terbesar kesakitan dan kematian adalah penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, dan kencing manis. Penyakit Tidak Menular memiliki proporsi utama yaitu 57 persen dari total kasus.
(mdk/gil)