JK sebut tak ada calon 'boneka' di pilkada serentak
Jika calon yang dianggap 'boneka' memenuhi syarat, tak ada alasan untuk menolaknya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai, kekhawatiran munculnya calon kepala daerah 'boneka' di 12 daerah yang masih memiliki calon tunggal, tidak beralasan. Menurut JK, apabila calon yang dianggap 'boneka' tersebut memenuhi syarat, maka tidak ada alasan untuk menolak partisipasi calon-calon tersebut.
"Apa yang Anda maksud calon boneka? Kalau memenuhi syarat. Ya kan memenuhi syarat, tidak ada istilah boneka, pokoknya semua memenuhi syarat," tutur JK di kantornya Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (29/7).
JK menilai, kehadiran calon kepala daerah 'boneka' dalam pilkada serentak tidak bisa dipungkiri. Pasalnya, beberapa daerah memiliki kandidat kuat yang berpotensi membuat pesimis calon rivalnya. Salah satunya adalah sosok incumbent Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
"Kan itu masalahnya ada memang calon yang baik dan kuat, kayak di Surabaya. Mau apa? Kalau tidak ada orang yang berani melawan ya bagaimana? Mau diapain kalau tidak ada yang berani lawan? Tinggal kasih waktu saja tiga hari, mau waktu untuk mencalonkan diri coba-coba," kata JK.
Munculnya calon 'boneka' ini juga lantaran adanya kekhawatiran ditundanya pilkada di daerah yang hànya memiliki calon tunggal. Penundaan tersebut hingga periode pilkada serentak berikutnya yakni tahun 2017.
Sebelumnya, JK mengatakan akan sulit untuk membuktikan calon yang dianggap 'boneka'. Oleh sebab itu, tidak bisa dilakukan penindakan.
"Bagaimana caranya membuktikan dia itu 'boneka'? Apa rumusannya bahwa dia itu 'boneka'? Susah kan? Dia mendaftar, dapat dukungan 20 persen, dia juga memang tidak serius ya bagaimana," kata JK, Selasa (28/7).
JK juga mengusulkan untuk membatasi syarat dukungan maksimal bagi partai politik atau gabungan partai untuk mengajukan calon kepala daerah. Salah satunya adalah partai politik atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi perolehan sekurang-kurangnya 20 persen dari kursi DPRD dan sebanyak-banyaknya 50 persen kursi.
Sejauh ini, undang-undang baru mensyaratkan batas minimal dukungan 20 persen dan belum menetapkan syarat batas maksimal dukungan. Pembatasan ini bertujuan menekan adanya calon tunggal. Dengan demikian diharapkan tidak ada monopoli koalisi partai yang mendukung satu pasangan calon.
"Jadi, tiap tahun itu ada minimum dukungan partai, katakanlah 20 persen, maksimum 50 persen, jadi yang 50 persen itu harus cari yang lain. Ini saran dari seorang menteri waktu sidang kabinet kemarin," ujar JK.
Meski demikian, menurut dia, usulan ini tidak mungkin direalisasikan dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Kemungkinan pemerintah akan mengajukan usulan ini sebagai peraturan baru dalam pilkada serentak gelombang berikutnya.