Ketua MK: Pembatasan petahana sama dengan menggaruk yang tak gatal
"Dalam negara demokrasi modern dan negara berdasar hukum, hak setiap warga negara untuk mencalonkan."
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menegaskan, dalam negara demokrasi setiap warga negara berhak mencalonkan dirinya sebagai pemimpin. Namun, kata dia, pengadilan juga mempunyai wewenang untuk membatasi seseorang.
Hal ini dikatakannya menyusul dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
"Dalam negara demokrasi modern dan negara berdasar hukum, hak setiap warga negara untuk mencalonkan, yang bisa membatalkan itu pengadilan," ujar Arief di gedung MK, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (9/7).
"UU yang membatasi keluarga petahana menjadi calon itu sama dengan menggaruk yang tidak gatal. Yang gatal itu bukan di situ, jadi masalahnya bukan di situ," imbuh dia.
Lanjut dia, ketentuan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 sangat inkonstitusional dan melanggar HAM.
"Dalam hal ini UU kita lihat tidak tepat, inkonstitusional, karena itu melanggar HAM dan hak konstitusional warga sehingga yang tepat adalah yang gatal itu kita garuk," papar Arief.
Bagi Arief, UU seharusnya tidak mengatur secara rinci tentang keluarga petahana supaya tidak melahirkan politik dinasti. Kata dia, yang perlu adalah pengawasan dari tingkat bawah.
"Yang gatal itu apa, itu terletak di pengawasannya supaya petahana itu tidak menggunakan posisi kedudukannya menguntungkan kerabat dalam pemilihan. Dan pengawasannya kan bisa di tingkat bawah itu ada di saksi-saksi dari parpol di TPS sampai di tingkat kabupaten/kota," pungkas dia.
Di lain pihak, Ketua MPR Zulfikli Hazan tetap menghormati putusan MK ini. Kata dia, apa pun putusan MK harus dihormati.
"Kan MK lembaga resmi. Apa pun keputusan dia kita hormati," tandas Zulfikli saat ditemui di gedung MK.
Baca juga:
Margarito sebut dinasti politik tak masalah asal ada pengawasan
Pimpinan KPK sebut dinasti politik berpotensi tindak pidana korupsi
Ahok: Dinasti politik boleh, yang enggak itu dinasti korupsi
Wakil Ketua DPR hormati putusan MK cabut larangan politik dinasti
Ahok: Dinasti politik boleh asal mau mati buat rakyat
-
Apa yang diubah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024? Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang terbatas 17 orang. “Ada kesepakatan baru, sekarang 19 orang. Sebelumnya MK hanya memperbolehkan pemohon membawa 17 orang terdiri dari 15 saksi dan 2 ahli,” kata Fajar kepada awak media di Gedung MK Jakarta, Selasa (26/3/2024).
-
Kenapa PDIP berencana membawa kasus kecurangan ke Mahkamah Konstitusi? PDI Perjuangan siap membawa sejumlah bukti dan saksi ke Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya seorang kepala kepolisian daerah (kapolda) terkait gugatan hasil Pilpres 2024 setelah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Apa yang diartikan sebagai dinasti politik? Dinasti politik sejatinya merupakan istilah yang berasal dari dua kata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinasti sendiri yakni istilah yang merujuk pada garis keturunan raja-raja yang memerintah atau bisa dimaknai sebagai kekuasaan dengan pusat satu keluarga. Sementara itu, politik secara umum diartikan sebagai bidang ketatanegaraan yang meliputi sistem pemerintahan, kebijakan, dan segala urusan negara. Sehingga dinasti politik secara singkatnya bisa dimaknai sebagai sistem pemerintahan yang berpusat pada golongan atau keluarga tertentu.
-
Kapan Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Sebelumnya, Masinton Pasaribu berupaya menggalang dukungan anggota Dewan untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.