Kisah teladan berpolitik tanpa balutan dendam para bapak bangsa
Pertemuan Prabowo-Jokowi menjadi sinyal bagus sekaligus teladan perlunya berpolitik tanpa berbalut dendam.
Pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto memberikan kesejukan bagi kondisi politik nasional yang sempat memanas. Keduanya bertemu dengan senyum di sebuah rumah Jl Kertanegara, Jakarta.
Dalam jumpa pers, kedua tokoh yang bersaing ketat dalam pilpres baru lalu menunjukkan gesture bersahabat. Prabowo bahkan memberi hormat ke Jokowi yang disambut dengan membungkuk.
Pertemuan ini menjadi sinyal bagus sekaligus teladan perlunya berpolitik tanpa berbalut dendam. Berpolitik dengan tanpa dendam ini sudah ditunjukkan para bapak bangsa sebelum maupun setelah kemerdekaan. Berikut seperti dirangkum merdeka.com, Sabtu (17/10):
-
Siapa yang memimpin Dewan Banteng? Sebanyak 612 anggota aktif dan pensiunan menyetujui pembentukan Dewan Banteng ini yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
-
Apa tujuan utama pembentukan Dewan Banteng? Dewan Banteng ini berisi mantan anggota perwira maupun prajurit yang merasa kecewa. Terbentuknya Dewan Banteng ini tepat setelah reuni antara perwira aktif dan pensiunan. Mereka kecewa terhadap pemerintah pusat karena dianggap telah melanggar undang-undang dan dianggap cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah terabaikan.
-
Kapan Dewan Banteng resmi dibentuk? Sebanyak 612 anggota aktif dan pensiunan menyetujui pembentukan Dewan Banteng ini yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. Dewan Banteng resmi terbentuk pada tanggal 25 November 1956.
-
Kapan Waduk Kembangan buka? Jam operasional Waduk Kembangan adalah setiap hari, mulai pukul 07.00 hingga 19.30 WIB.
-
Siapa yang terpilih sebagai anggota Dewan Provinsi Banten? Fadel Islami merintis karir politiknya sejak tahun 2021. Setelah setahun sebagai kader PAN, dia akhirnya mencalonkan diri dalam Pemilu 2024. Bacaleg PAN sejak pertengahan 2023, Fadel mulai kampanye di berbagai wilayah Provinsi Banten, didampingi oleh istri setianya, Muzdalifah.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
Natsir dan IJ Kasimo
Mohammad Natsir dan IJ Kasimo adalah contoh bahwa berlawanan secara politik, tidak perlu harus diikuti dengan permusuhan abadi secara pribadi.
Natsir dikenal sebagai tokoh partai Islam, Masyumi. Dia dikenal berkawan akrab dengan IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik. Bergabung dalam partai politik yang berlawanan, Natsir dan IJ Kasimo selalu bergandengan tangan dalam menghadapi PKI.
Saat Presiden Soekarno menawarkan konsep kabinet Kaki Empat, Natsir dan IJ Kasimo menolaknya. Partai Masyumi dan Partai Katolik sama-sama menentang PKI diikutkan ke pemerintahan.
Dalam artikel Chris Siner Key Timu di buku 100 Tahun Mohammad Natsir, dikutip merdeka.com, Senin (21/7), dijelaskan bahwa keakraban Natsir dan IJ Kasimo juga tampak dalam pergaulan sehari-hari.
Ketika hari Raya Natal, Natsir selalu berkunjung ke rumah IJ Kasimo. Kebetulan tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh, Natsir tinggal di Jl Tjokroaminoto dan Kasimo di Jl Gresik, sama-sama Menteng. Sebaliknya pada saat Idul Fitri, Kasimo datang berkunjung ke rumah Natsir.
Natsir dikenal sebagai sosok yang konsisten dalam memperjuangkan kepentingan dan ideologi. Tetapi, Natsir tidak membenci lawan-lawan politiknya. Sebagai pemimpin Masyumi, Natsir tidak mau memaksakan keyakinannya kepada pihak lain agar mengikuti ajaran Islam.
Soekarno-Hatta
Pertentangan antara Soekarno-Hatta dalam kabinet Ali Sastroamidjojo II mengalami puncaknya yaitu dengan pengunduran diri Hatta dari posisi sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri Bung Hatta dinilai merupakan kumpulan akumulasi dari beberapa konflik yang terjadi antara Bung Hatta dengan Soekarno yang tidak bisa diakhiri.
Meskipun dikenal dekat, Soekarno dan Hatta seringkali terlibat pertentangan pendapat. Itu terjadi sejak mereka aktif dalam organisasi pergerakan pemuda menentang kolonialisme Belanda hingga akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri dari pemerintahan.
Tipikal keduanya memang berbeda. Soekarno adalah seorang solidarity maker yaitu seorang pemimpin yang pandai menarik simpati massa dan menggerakkan mereka untuk tujuan tertentu, sedangkan Hatta adalah seorang administrator yang ahli dalam penyelenggaraan negara.
Kedua tokoh ini mempunyai perbedaan pandangan satu sama lain, terutama strategi dan orientasi politik keduanya. Disatu sisi Bung Karno ingin melanggengkan dominasinya meneruskan perjuangan revolusi, pada sisi lainnya Bung Hatta telah berpikir maju untuk segera mengakhiri Revolusi menuju kearah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Setelah pengunduran diri Hatta, apakah kemudian hubungan kedua tokoh tersebut menjadi renggang? Rupanya tidak. Pada saat Bung Hatta sakit, Bung Karno selalu berpikir untuk perawatan terbaik bagi Bung Hatta .
Keduanya beserta keluarga juga kerap makan bersama. Seperti diceritakan Hatta dalam "Bung Hatta Menjawab", pada awal tahun 1958, waktu itu Bung Karno mau pergi istirahat ke Tokyo. Dia bertemu dengan istri Bung Hatta dan mengatakan kepada Rahmi Hatta, "Oom mau pergi istirahat ke Tokyo. Kapan oom mau diundang makan sebelum berangkat?" Rahmi Hatta menjawab: "Nantilah, saya bicarakan dulu dengan Kang Hatta kapan dia sempat". Kemudian setelah dibicarakan, Bung Hatta menyampaikan: "baiklah, kalau memang akan ke Tokyo, singgalah ke rumah"
Bung Hatta kemudian bercerita. "Maka datanglah Bung Karno makan ke rumah, sebelum berangkat ke Tokyo. Dan sebelum makan, saya katakan: "sebelum makanan siap marilah sebentar kita bicarakan masalah PKI ini'. Saya katakan selanjutnya: "Kalau begini terus menerus, Negara ini kau sampaikan kepada PKI. Kau naikkan PKI dengan cara 'kuda berkaki empat' (kabinet PKI ikut di dalamnya)". Tuntutan PKI masuk kabinet "kuda berkaki empat" itu dinyatakan dengan coretan-coretan yang berisi tuntutan PKI agar masuk dalam kabinet waktu itu. Saya seperti diketahui, terus menerus tidak setuju dan mengkritik pikiran-pikiran yang demikian."
Meskipun terus menyampaikan kritik, hubungan Soekarno dan Hatta secara pribadi tetaplah erat. Pandangan politik boleh beda, tetapi keduanya tak pernah dendam dan tidak punya sifat pendendam.
Natsir dan Soekarno
Perbedaan pandangan Natsir dengan Soekarno sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka pada 1930. Di awal Proklamasi Natsir dan Soekarno bertemu di badan pemerintahan. Perbedaan pandangan tidak menghalangi hubungan dekat keduanya. Begitu dekatnya sehingga Natsir konon pernah menjadi pembuat pidato Soekarno.
Pada zaman Bung Karno, Mohammad Natsir mengalami pengucilan politik. Bahkan, tokoh Partai Masyumi ini sempat dipenjarakan. Partai Masyumi yang dipimpinnya pun dibubarkan tahun 1960 oleh Soekarno. Ada perbedaan pandangan yang tajam di antara mereka tentang bagaimana membawa bangsa Indonesia ke depan, terutama terkait dengan ideologi Pancasila dan Islam.
Mohammad Natsir dikenal aktif dalam Petisi 50 yang menentang Orde Baru. Rekannya di Petisi 50 Chris Siner Key Timu memberi kesaksian betapa dalam setiap rapat Natsir tak pernah menyinggung-nyinggung Bung Karno apalagi menjelek-jelekkan.
"Tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata yang buruk soal Bung Karno. Dari situ saja sangat terlihat sifat kenegarawanannya itu," tulis Key Timu dalam buku 100 Tahun Mohammad Natsir.
Setelah tragedi berdarah tahun 1965 pecah, Natsir juga tidak pernah berpikir menggunakan kesempatan yang ada untuk meraih kekuasaan atau demi kepentingan pribadi.
Begitulah Natsir. Dia dikenang sebagai politisi yang santun. Perbedaan pendapat dengan lawan politik, tidak melanggengkan sikap saling dendam. Natsir tetap menganggap lawan politiknya sebagai teman.