MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres, Kenapa Ambang Batas Presiden Ditolak?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Putusan MK yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi
MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres, Kenapa Ambang Batas Presiden Ditolak?
MK dianggap tidak konsisten dan syarat kepentingan politik dalam putusan tersebut.
"Saya melihat putusan MK ambivalen, ada ketidakkonsistenan pada diri Mahkamah Kontitusi sebagai penjaga Kontitusi dan Demokrasi," ujar Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud, Agus Widjajanto.
MK memutus empat uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, utamanya terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Pasal itu mengatur tentang batas usia sebagai syarat maju capres dan cawapres.
- Alasan MK Kabulkan Syarat Maju Pilpres 2024 Pernah Berpengalaman jadi Kepala Daerah
- Mahkamah Konstitusi Digeruduk Pendemo Jelang Putusan Batas Usia Capres
- MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres
- MK Soal Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres: MK Tak Bisa Batalkan Undang-Undang Tak Dilarang Konstitusi
Ada 7 gugatan yang diajukan. Namun, MK hanya mengabulkan satu petitum menambah frasa pernah menjadi kepala daerah.
Agus mengungkapkan, melihat MK tidak konsisten. Jika dibandingkan putusan terhadap batas minimal usia dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.
Padahal, kata Agus, kedua gugatan tersebut muaranya adalah sama-sama menegakkan demokrasi yang dianut Indonesia.
"Gugatan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden yang digugat beberapa pihak agar bisa nol persen, bukan 20 persen, bukankah ditolak MK? Padahal tujuannya juga sama, agar dapat tersalur demokrasi tanpa adanya batasan," jelas Agus.
Gugata itu pernah dilayangkan ke MK dan dicabut oleh kuasa hukumnya pada Jumat 29 September 2023. Akan tetapi, berselang sehari kemudian yakni Sabtu, 30 September 2023, Pemohon membatalkan pencabutan kedua perkara a quo itu.
"Kalau benar yang dikatakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, bahwa gugatan sudah (pernah) dicabut tapi kemudian dianulir, serta pihak penggugat tidak mempunyai kepentingan seperti yang dikatakan Hakim Konstitusi Soehartoyo, hingga terjadi Desenting opinin, maka sungguh merupakan preseden buruk bagi MK sendiri sebagai Penjaga Demokrasi dan Penjaga Kontitusi," ungkap Agus.
"Bisa menjadi preseden buruk, kenapa? Karena aturan main dalam hukum acara yang sudah jadi pedoman sepanjang syarat formal tidak terpenuhi, maka secara materi tidak lagi dibahas apalagi dikabulkan," sambung Agus.
Kemudian sesuai petitum yang diajukan Pemohon Almas dengan meminta ditambahkan frasa 'berpengalaman sebagai kepala daerah', akan menimbulkan bias penafsiran dalam sebuah Undang-Undang.
"Karena di dalam Undang-Undang tidak ada tentang persyaratan pengalaman menjadi penyelenggara negara atau pengalaman kepala daerah," urai Agus.
Terakhir, Agus Widjajanto menuturkan, Perancis dalam Pemilihan Presiden 2022, Emmanuel Macron terpilih Presiden terrmuda pada usia 39 tahun.
Namun ditegaskan, Emmanuel Macron ini bukan menyangkut usia muda atau tua, meski diyakini ketokohan Macron dalam usia muda menjadi Presiden bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda di Indonesia.
Kata Agus, dalam konteks UU Pemilu yang mensyaratkan batas minimal usia capres, sepatutnya pertimbangan hukum dalam uji materi di MK harus komprehensif.
Kesan Politik
Bukan memunculkan kesan adanya kepentingan politik, misal terkait momentumnya yang kurang pas jelang Pilpres 2024 yang pendaftarannya tinggal sepekan lagi.
"Apalagi memakai frasa pernah menjabat kepala daerah bupati/walikota/Gubernur, harusnya pertimbangannya untuk semua warga negara, yang sama kedudukannya di dalam hukum sesuai diatur konstitusi tertulis kita," pungkas Agus.