Pakar Hukum: UU yang Dibikin DPR Tak Bisa Ubah Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat dianulir badan legislatif maupun eksekutif.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat dianulir badan legislatif maupun eksekutif. Menurut Feri, keputusan MK yang final mengikat itu bersifat erga omnes atau berlaku terhadap semua pihak sehingga DPR dan pemerintah harus menjalaninya.
Feri menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 dan turunannya tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dijelaskan bahwa DPR mempunyai kewenangan mengubah undang-undang karena pelbagai hal, salah satunya mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 itu, menurut Feri, sangat gamblang menjelaskan bahwa keputusan MK final dan mengikat. Sehingga DPR salah apabila membuat undang-undang dalam rangka mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA).
Oleh sebab itu, Feri menuturkan, Mahkamah Konstitusi yang dituding mengambil kewenangan DPR terkait keputusan Undang-Undang tidak tepat. Sebab, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi produk-produk kebijakan termasuk juga undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi.
"Kan konsepnya itu MK melalui putusannya mengevaluasi, memperbaiki, mengubah undang-undang, bukan undang-undang yang mengubah putusan MK dari konsep itu saja DPR sudah salah," kata Feri saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (22/8).
Produk Disahkan DPR Tidak Sah
Feri menegaskan, keputusan MK secara kedudukan lebih tinggi dan berlaku kepada DPR, penyelenggara dan peserta Pemilu. Menurut Feri, apabila DPR tetap ngotot mengesahkan RUU Pilkada merujuk putusan MA bertentangan dengan Undang-Undang.
Secara hukum, Feri mengatakan, tindakan dan perbuatan yang bertentangan dengan putusan pengadilan harus dianggap batal demi hukum termasuk objek yang dihasilkan dianggap tidak pernah ada. Hal itulah yang terjadi apabila DPR tetap bersikukuh mensahkan UU Pilkada merujuk putusan MA.
"Jadi undang-undang yang mau direvisi ini harus dianggap tidak ada, harus diabaikan pembuat undang-undang, penyelenggara pemilu yang Mahkamah Konstitusi dan persidangannya harus anggap undang-undang revisi ini tidak pernah ada," kata Feri.
Dampak DPR Ngotot Sahkan Revisi UU Pilkada
Tidak hanya produk undang-udang yan cacat, menurut Feri, aturan Pilkada yang disahkan DPR merujuk putusan MA tersebut berdampak terhadap hasil Pemilu. Imbas keputusan DPR itu salah satunya berpotensinya gugatan hasil Pilkada di MK.
"Ya Mudah dipersengketakan hasil ke Mahkamah Konstitusi kecuali pemerintah dan DPR sedang merencanakan mengganti hakim konstitusi," tandas Feri.
DPR Anulir Putusan MK
DPR sebelumnya akan menggelar rapat paripurna pengesahan Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi Undang-Undang pada Kamis (22/8). Ada dua materi RUU Pilkada yang bakal disahkan DPR menjadi Undang-Undang setelah sebelumnya disepakati Panja RUU Pilkada, pemerintah dan DPD.
Poin pertama dalam RUU Pilkada yang bakal disahkan DPR dalam rapat paripurna adalah penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Putusan MK itu menafsirkan bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Poin kedua yaitu perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukan hanya bagi partai non parlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Bunyi Putusan MK
Rapat paripurna DPR yang akan mengesahkan RUU Pilkada itu berseberangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya diberitakan pada Selasa (20/8), MK memutuskan dua putusan krusial terkait tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Putusan MK Nomor 60/PUU/XXII/2024, mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah yang tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD atau 20 persen kursi DPRD. Artinya pencalonan Kepala daerah ditentukan oleh perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu 10 persen; 8,5 persen; 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Salah satunya contohnya di Provinsi DKI Jakarta dengan penduduk 6-12 juta jiwa maka partai politik mencalonkan kini menjadi 7,5 persen suara atau kursi DPRD.
Sedangkan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Putusan itu menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.