Ini Dampak Buruk Pembangkangan DPR Terhadap Putusan MK soal UU Pilkada
Dampak buruk yang bisa terjadi jika Baleg DPR RI menganulir putusan MK soal UU Pilkada, massa bisa turun ke jalan.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendadak mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dalam rapat kerja yang digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024 kemarin.
Agenda tersebut dilakukan tepat satu hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan progresif yang mengubah aturan Pilkada.
Berdasarkan rapat Panitia Kerja (Panja), RUU Pilkada ini tidak merujuk pada putusan MK, malah justru sebaliknya. RUU Pilkada ini cenderung melawan putusan MK.
Banyak pihak kemudian menuding langkah yang dilakukan Baleg DPR itu sebagai salah satu bentuk pembangkangan yang bisa membuat cacat hukum di Indonesia.
Baleg DPR RI Akan Sahkan RUU Pilkada
Baleg DPR RI telah sepakat jika RUU Pilkada dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi UU. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja di Ruang Baleg, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8).
Delapan Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menyetujui Revisi UU Pilkada dibawa ke rapat paripurna. Hanya Fraksi PDIP yang tak sependapat dengan putusan tersebut.
Ada beberapa poin-poin Putusan MK yang direvisi DPR melalui RUU Pilkada, salah satunya mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah.
Dalam Pasal 40 UU Pilkada, MK memutuskan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kemudian, ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Angka persentase dukungan partai ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, maupun kota.
Baleg DPR merevisi putusan tersebut melalui RUU Pilkada dan menyatakan ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD.
Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Akibatnya, PDIP akan gagal mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri bila menggunakan aturan Baleg. Namun, jika menggunakan putusan MK pada Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, PDIP bisa mengusung calonnya sendiri.
Selain itu, MK juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon sesuai Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada.
Namun, aturan tersebut lagi-lagi diubah Baleg DPR dengan merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR pada poin itu kemudian ramai disebut sebagai langkah untuk memuluskan jalan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk menjadi calon Gubernur.
Meski menuai beragam kritik, Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidowi menegaskan, jika apa yang dilakukan DPR tersebut bukan bagian dari langkah untuk menganulir putusan MK.
"Tidak ada kita menganulir. Asas hukum itu berlaku progresif dan biasa saja. Jadi tidak ada sesuatu yang disembunyikan," kata Baidowi.
"Jadi ketika besok diperimpunakan, disahkan, kemudian Presiden mengundangkan, maka undang-undang itu sah berlaku," tambah dia.
Dalam pernyataannya, politisi PPP itu tidak mau menegaskan Bahwa RUU Pilkada nantinya bakal dipakai untuk pendaftaran Pilkada serentak 2024 yang dibuka 27 Agustus mendatang atau tidak.
Dampak Buruk Jika DPR Sahkan RUU Pilkada
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna mengatakan, bahwa RUU Pilkada yang direvisi oleh Baleg DPR RI merupakan bentuk pembangkangan secara terang-terangan.
"Tapi, cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi)," kata Palguna dikutip dari antaranews (22/8/2024).
Di sisi lain, Palguna menyebut jika pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR itu sudah berada di luar kewenangan MK. Sehingga lembaga tersebut tidak bisa bertindak banyak untuk mencegahnya.
"Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society (masyarakat sipil) serta kalangan kampus. MK adalah pengadilan yang sebagaimana galibnya (lazimnya) pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan," tegas dia.
Revisi UU Pilkada Bisa Sebabkan Cacat Hukum Kronis
Masyarakat dari berbagai kalangan juga turut menyoroti langkah Baleg DPR RI yang terkesan terburu-buru dalam merevisi RUU Pilkada.
Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan, jika pertimbangan hukum MK sebenarnya sama mengikatnya dengan amar putusan.
Maka seharusnya, sudah bersifat final dan mengikat serta berlaku secara serta-merta bagi semua pihak (erga omnes).
"Kalau DPR mengatur berbeda dengan pertimbangan hukum MK, artinya norma tersebut inkonstitusional dan bisa dibatalkan dalam pengujian di MK," kata Titi seperti dikutip dari Antara.
Lebih lanjut, Titi mengatakan, jika keputusan MK seharusnya tidak boleh disimpangi oleh semua pihak. Jika terjadi, maka itu merupakan bentuk pembangkangan konstitusi.
Bila terus dibiarkan berlanjut, maka Pilkada 2024 bisa dikatakan inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan.
Dikatakan pula bahwa RUU Pilkada sejatinya naskah lama yang sudah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada bulan November 2023 sebagai RUU inisiatif DPR RI.
Titi mengungkapkan memang ada putusan-putusan MK terkait dengan pilkada yang normanya perlu diakomodasi dalam RUU Pilkada tersebut. Oleh sebab itu, dia mengingatkan agar revisi tersebut tidak menyimpangi putusan MK.
"Kalau sampai terjadi, pilkada bisa amburadul dan akan jadi noda kotor demokrasi yang mencoreng DPR dan Pemerintah," katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) W. Riawan Tjandra juga menilai, revisi UU Pilkada bisa menjadi pintu gerakan rakyat di jalanan secara meluas.
Hal itu disebabkan oleh DPR dan pemerintah yang dianggap plin-plan dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, apabila pemerintah dan DPR tidak hati-hati dan bijak, maka gerakan rakyat yang akan terjadi bisa menumbangkan pemerintahan sebelum Oktober.
Dampak keberlanjutan yang bisa terjadi ialah munculnya ketidakpercayaan publik terhadap calon presiden dan wakil presiden terpilih saat melakukan peralihan kekuasaan.