Awal Mula dan Makna Gambar 'Peringatan Darurat' yang Menggema di Medsos
Gambar lambang Burung Garuda berlatar biru dengan tulisan 'Peringatan Darurat' membanjiri media sosial. Apa maknanya?
Gambar 'Peringatan Darurat' bermunculan di media sosial. Bahkan, gambar lambang Burung Garuda berlatar biru tua dengan tulisan 'Peringatan Darurat' di atasnya membanjiri segala lini massa.
Gambar ini pertama kali dibagikan akun kolaborasi @narasinewsroom, @najwashihab, @matanajwa, dan @narasi.tv di platform Instagram. Hingga akhirnya, postingan ini menjadi trending topic worldwide di platform X alias Twitter usai pesohor, aktivis hingga masyarakat ramai-ramai mengunggah gambar tersebut.
Peringatan darurat yang viral di media sosial merujuk pada ajakan untuk protes dan perlawanan atas keputusan Baleg DPR menyepakati Revisi UU Pilkada. Rapat Baleg yang digelar super kilat ini menghasilkan beberapa kesepakatan yang mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Salah satu artis yang lantang menyuarakan protes dengan mengunggah gambar 'Peringatan Darurat' adalah Pandji Pragiwaksono. Panji memposting gambar tersebut di akun X dan Instagram pribadinya.
Panji menuliskan kata-kata satire terhadap pemerintahan baru. "Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. Presidennnya Gemoy, Pemerintahnya Goyang," tulis Panji dalam unggahannya dikutip merdeka.com, Rabu (21/8).
Selain Panji, politikus Golkar Wanda Hamidah juga menyuarakan protes serupa. Dia memposting gambar 'Peringatan Darurat' beserta pengumuman mundur dari Golkar. Wanda mengaku sangat mencintai Indonesia sehingga tidak mau berada di pihak yang salah.
"I'm out from Golkar. I don't wanna be in a wrong side of history. I love my country too much. Indonesia is not for sale. Panjang umur perjuangan!," tulis Wanda di akun instagramnya @wanda_hamidah
Tak hanya gambar 'Peringatan Darurat', warganet juga meramaikan tagar #KawalPutusanMK. Tagar ini bertujuan mengajak masyarakat untuk peduli dan mengawasi jalannya Pilkada usai DPR mengakali putusan MK dengan membuat aturan baru.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu menjadi salah satu yang ikut meramaikan tagar tersebut di akun X. Dia menambahkan tagar #SelamatkanDemokrasi dalam postingan gambar burung Garuda dan 'Peringatan Darurat'.
Apa makna gambar 'Peringatan Darurat' ini?
Pengamat politik Ujang Komarudin mengatakan gerakan 'Peringatan Darurat' ini muncul karena melihat DPR tidak menyerap aspirasi publik terkait aturan main Pilkada. Dia merasa DPR hanya menjadi corong bagi 'keluarga tertentu' memuluskan kepentingan politiknya.
"Peringatan darurat mungkin karena revisi uu pilkada yang dilakukan baleg itu arahnya ke sana yg dianggap tidak aspiratif dan tidak mengikuti keinginan publik," kata Ujang saat dihubungi.
Menurut dia, publik juga memiliki hak untuk mengkritik penyelenggaraan negara yang tidak demokratis. Protes ini merupakan bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi tetap subur di Indonesia.
"Saya melihat apa yang disampaikan netizen mungkin bagian dari pada kepedulian terhadap nasib bangsa kepedulian terhadap keadaan demokrasi yang dianggap mulai terdegradasi," ujar Ujang.
Masifnya gerakan ini, kata Ujang, menunjukkan warganet masih memiliki pengaruh besar dalam menciptakan perubahan sosial dan mempengaruhi suatu kebijakan. Dia berharap, gerakan publik ini didengar pemerintah dan DPR agar tak salah mengambil keputusan.
"Jadi memang pengaruh netizen cukup besar media sosial juga menjadi referensi dalam konteks pengambilan kebijakan juga dan dalam skala tertentu menjadi pendorong bagi Pemerintah dan DPR untuk bekerja lebih baik," tutup Ujang.
Penyebab Gerakan 'Peringatan Darurat'
Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui Revisi Undang-undang Pilkada dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Kesepakatan ini merespons putusan penting MK terkait Pilkada 2024, yakni dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dalam Putusan Nomor 60, MK memutuskan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD.
Sementara dalam pembahasan RUU Pilkada, DPR cenderung tidak sepenuhnya mengakomodasi dan mengabaikan putusan MK. DPR dan Pemerintah mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada, dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Sedangkan, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.
Selanjutnya, dalam putusan nomor 70, MK menetapkan syarat usia calon gubernur dan calon wakil gubernur harus berumur minimal 30 tahun pada saat penetapan calon.
Dalam rapat, Baleg DPR RI memperdebatkan dua putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi atau MK dan Mahkamah Agung atau MA terkait syarat usia calon kepala daerah. Putusan MA mengatur syarat usia calon kepala daerah ditentukan pada saat pelantikan calon terpilih.
Alih-alih mengikuti putusan MK, DPR malah menyepakati batas usia calon kepala daerah dalam RUU Pilkada mengacu pada putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok pada 29 Mei 2024.