Peringatan Darurat Garuda Biru Bukan soal Pilkada atau MK Vs DPR, ini Makna Sesungguhnya Sangat Menohok
Peringatan darurat dengan gambar burung garuda berlatar biru menggema di media sosial. Gambar tersebut juga membanjir berbagai lini masa.
Peringatan darurat dengan gambar burung garuda berlatar biru menggema di media sosial. Gambar tersebut juga membanjir berbagai lini masa.
Peringatan darurat tersebut muncul sebagai ajakan untuk melakukan protes dan perlawanan atas keputusan Baleg DPR yang secara ngebut menyepakati Revisi UU Pilkada, Rabu (21/08/2024) kemarin.
Keputusan yang dihasilkan Baleg DPR itu telah mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi. Massa dari elemen mahasiswa, kelompok masyarakat sipil hingga buruh pun hari ini bakal menentang putusan Baleg DPR itu dengan melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR.
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menegaskan, peringatan darurat tersebut bukan soal siapa yang bisa atau tidak bisa maju Pilkada.
Aktivis yang ikut dalam seruan menentang putusan Baleg DPR itu juga menyatakan, peringatan darurat itu bukan hanya soal pilkada dan bukan hanya soal MK melawan DPR atau siapapun.
"Ini soal kesewenang-wenangan yang semakin telanjang dipertontonkan oleh para pembangkang konstitusi. Mereka membolak balik aturan main berpolitik dalam konstitusi untuk jabatan-jabatan yang mereka inginkan, untuk menghisap kita dan sumber daya alam kita nantinya," tulisnya dalam akun Instagram miliknya @bivitrisusanti, Kamis (22/08/2024).
Sementara, kata dia, warga dibuat bodoh, dibuat hanya menunggu bansos atau makan siang gratis, dan dibuat tidak peduli orang lain.
"Digiring ke TPS, diambil suaranya untuk kekuasaan, lalu ditinggal setelah kekuasaan ada di tangan mereka. Setelah berkuasa, mereka menggusur warga, mengambil tanah atas nama pembangunan, mengorupsi hak kita untuk dapat pelayanan publik," tulisnya.
"Mereka perusak konstitusi, kita penjaga konstitusi. Mereka bisa melakukan pembangkangan konstitusi, kita bisa melakukan pembangkangan warga (civil disobedience)".
Dia menegaskan kondisi saat ini adalah kondisi darurat hukum dan demokrasi di Indonesia.
"Sampai ketemu di jalanan, di ruang-ruang diskusi, di media sosial, di manapun kamu bisa, tapi kita harus bergerak. Ini darurat negara hukum dan demokrasi. Darurat," tulisnya.
Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui Revisi Undang-undang Pilkada dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Kesepakatan ini merespons putusan penting MK terkait Pilkada 2024, yakni dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dalam Putusan Nomor 60, MK memutuskan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD.
Sementara dalam pembahasan RUU Pilkada, DPR cenderung tidak sepenuhnya mengakomodasi dan mengabaikan putusan MK. DPR dan Pemerintah mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada, dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Sedangkan, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.
Selanjutnya, dalam putusan nomor 70, MK menetapkan syarat usia calon gubernur dan calon wakil gubernur harus berumur minimal 30 tahun pada saat penetapan calon.
Dalam rapat, Baleg DPR RI memperdebatkan dua putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi atau MK dan Mahkamah Agung atau MA terkait syarat usia calon kepala daerah. Putusan MA mengatur syarat usia calon kepala daerah ditentukan pada saat pelantikan calon terpilih.
Alih-alih mengikuti putusan MK, DPR malah menyepakati batas usia calon kepala daerah dalam RUU Pilkada mengacu pada putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok pada 29 Mei 2024.