Palu MK Selamatkan Demokrasi Indonesia
MK dianggap menyelamatkan wajah demokrasi Indonesia dengan menolak permohonan PDIP agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup
MK menolak permohonan PDIP soal sistem pemilu tertutup
Palu MK Selamatkan Demokrasi Indonesia
Caleg Dibikin Ketar Ketir
Para Caleg yang akan bertarung di Pemilu 2024 sempat dibuat ketar ketir. Pemicunya, gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Khususnya pasal tentang sistem pemilu proporsional terbuka. Para penggugat ingin kembalikan menjadi sistem proporsional tertutup. Gugatan itu dilayangkan kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, eks kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono yang tercatat dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Semua partai politik menolak. Kecuali PDIP. Bahkan 8 parpol parlemen, seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP dan PKS bersatu menolak gugatan PDIP. Sistem coblos caleg atau proporsional terbuka diyakini cara terbaik menampung aspirasi.
Jika sistem tersebut diubah, maka demokrasi Indonesia dianggap mundur ke belakang.
Wajah demokrasi Indonesia jadi taruhannya.
Setelah berkali-kali sidang digelar, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan tersebut. MK memastikan Pemilu 2024 tetap menerapkan sistem proporsional terbuka atau coblos caleg. Hal itu tertuang sebagaimana amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat.
Penjelasan MK
Wakil Ketua MK Saldi Isra menilai, partai politik masih memiliki peran sentral dalam penentuan nomor urut calon anggota legislatif. Lantaran, parpol jadi satu-satunya pintu masuk bagi warga negara yang ingin menjadi calon anggota DPR/DPRD. Terlebih peran sentral partai politik dalam memantau kinerja anggota DPR/DPRD yang terpilih juga saling terhubung dengan evaluasi bagi para anggota yang duduk di DPR/DPRD melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW) atau recall. "Dengan adanya pelembagaan mekanisme PAW tersebut, maka para anggota DPR/DPRD dituntut untuk tetap bersikap loyal dan berkomitmen terhadap garis kebijakan partai politiknya," kata Saldi.
Selain itu, sistem proporsional terbuka juga dinilai lebih dekat dengan yang diinginkan oleh UUD 1945. Walaupun dalam pelaksanaannya masih tetap ada kekurangan. Sebab tidak ada sistem yang sempurna.
Maka perlunya menyesuaikan dengan dinamika yang ada di masyarakat demi kepentingan penyelenggaraan pemilu.
Walaupun begitu, Saldi menilai, apabila ingin adanya perubahan sistem pemilu perlu adanya persiapan yang dilakukan.
Sehingga perubahan yang terjadi tidak bisa secara mendadak, karena akan berdampak ke segala aspek.
"Melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation)," ujar Saldi Isra.
Catatan MK
Seperti beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain tidak terlalu sering melakukan perubahan. Perubahan dilakukan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilu, perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai. Tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam catatan petitumnya, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) soal perlu adanya evaluasi atas sistem proporsional terbuka. Sebab, sistem yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. "Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029," kata dia. Perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang dimaksud telah empat kali diterapkan, yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. Harus ada perubahan dengan menyiapkan sistem proporsional terbuka terbatas.
Kekurangan Coblos Caleg
Sebab, saat ini banyak persaingan yang dilakukan para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat. Sehingga malah menimbulkan potensi konflik yang tajam dan membuat persaingan secara liberal. Terutama di antara masing-masing calon anggota legislatif dan tim suksesnya dalam satu partai yang sama atau konflik internal antar calon anggota legislatif dalam satu partai. Semua itu, nantinya akan selalu diselesaikan dan berakhir di Mahkamah Konstitusi karena tidak dapat diselesaikan oleh partainya.
“Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” kata Arief.
Pemerintah Tak Ingin Ada Gejolak
Wakil Presiden Ma'ruf Amin bersyukur, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan tersebut. Dia tak ingin ada gejolak dalam menghadapi Pemilu 2024. Ma'ruf Amin menyampaikan jika MK mengabulkan sistem pemilu tertutup, maka diperkirakan akan ada protes dan gejolak di masyarakat. Sebab sepengetahuannya, masyarakat dan partai politik banyak yang menghendaki sistem pemilu tetap terbuka