PAN pakai pendapat Yusril untuk kuatkan sikap tolak Perppu Ormas
Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan, pandangan dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menguatkan sikap fraksinya untuk menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan, pandangan dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menguatkan sikap fraksinya untuk menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Yandri menyatakan PAN setuju dengan pandangan Yusril bahwa tidak ada kegentingan yang memaksa untuk mengeluarkan Perppu Ormas.
"Kalau kita dari awal kan sudah menolak. Sudah kita kaji dari awal. Keterangan Pak Yusril, Dr Irman, Refli, semakin membuat mantap. Sungguh luar biasa memberikan pencerahan kepada kami," kata Yandri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10).
Yandri menyebut UU Nomor 17 tahun 2013 soal Ormas sudah cukup komprehensif. Sebab, kata Yandri, Perppu Ormas memiliki dampak panjang. Menurutnya, peran pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas tetap harus ada.
"Karena kalau rezim berganti, tafsir orang mengenai Pancasila kan bisa berganti. Mendagrinya berganti kan cara pandangnya bisa berganti," ujarnya.
Oleh karena itu, mekanisme dan prosedur pembubaran ormas dalam UU Ormas juga perlu dipertahankan.
"Kalau ada yang melanggar Pancasila diperingatkan tertulis, dihentikan kegiatannya, dibekukan sementara. Pengadilan mengadili, dibubarkan juga bisa, dihukum juga bisa. Jadi sudah cukup," tegasnya.
Ketua DPP PAN ini juga mempertanyakan upaya pemerintah mengelola ormas-ormas di Indonesia. Pemerintah seharusnya hadir membina ormas-ormas bukan hanya mampu menyalahkan karena mereka bertentangan dengan konstitusi.
"Kenapa mereka radikal? Apakah negara sudah hadir atau belum. Apakah mereka disapa? Apakah mereka diberdayakan atau belum. Itu kan pertanyaan kepada pemerintah. Jadi jangan langsung disalahkan kepada ormasnya," tukasnya.
Pakar hukum tata negaraYusril Ihza Mahendra menegaskan, tidak ada kegentingan yang memaksa untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Menurutnya, jika membubarkan satu ormas seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sesuatu yang genting, seharusnya sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kalau hal ihwal kegentingan memaksa tiga tahun baru dikeluarkan Perppu. Kita tanya waktu diambil Presidennya SBY, sekarang Jokowi. Pernah enggak Jokowi panggil HTI? Jadi kegentingannya di mana?" kata Yusril dalam rapat dengan komisi II DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan,Jakarta Pusat, Rabu (18/10).
Dalam rapat ini, Yusril yang juga pengacara HTI itu menegaskan, pertimbangan untuk membubarkan HTI tidak jelas. Serta, tambah Yusril, seharusnya ada proses pengadilan untuk membubarkan suatu ormas.
"Baru HTI dibubarkan melalui SK Menkum HAM dan tak ada konsiderannya. Jadi konsideran menimbang enggak ada. Hanya membaca surat Menko Polhukam surat sekian, isinya apa kita enggak tahu. Lalu membubarkan. Konsderannya apa? Apa bertentangan dengan Pancasila? Kita tak tahu," ujarnya.