Pidato Lengkap Jokowi di Sidang Tahunan MPR Soal Pak Lurah hingga Ejekan Plonga-plongo
Presiden Jokowi merespons serangan negatif selama ini yang ditujukan kepadanya.
Presiden Jokowi merespons serangan negatif selama ini yang ditujukan kepadanya.
Pidato Lengkap Jokowi di Sidang Tahunan MPR Soal Pak Lurah hingga Ejekan Plonga-plongo
Presiden Joko Widodo (Jokow) mengawali pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR dengan membahas situasi nasional memasuki tahun politik, termasuk dinamika terkait penetapan calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam pernyataannya, Jokowi juga menyinggung perihal serangan atau ejekan dari sejumlah pihak yang dialamatkan kepadanya. Termasuk sebutan sebagai presiden tidak tahu apa-apa atau plonga-plongo.
Menanggapi isu-isu negatif tersebut, Jokowi menyimpulkan bahwa budaya santun budi pekerti saat ini mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi, menutur Jokowi, dijadikan pembenaran oleh sejumlah pihak untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Berikut pidato lengkap Jokowi dalam sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Rabu (16/8):
"Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasananya sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren di kalangan politisi dan parpol. Setiap ditanya soal siapa Capres Cawapres-nya, jawabannya 'Belum ada arahan Pak Lurah'."
"Saya sempat mikir, siapa Pak Lurah ini. Sedikit-sedikit kok Pak Lurah. Belakangan saya tahu yang dimaksud Pak Lurah itu ternyata Saya."
"Ya saya jawab saja 'Saya bukan lurah. Saya Presiden Republik Indonesia'. Ternyata Pak Lurah itu, kode."
"Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan Ketua umum parpol, bukan juga ketua koalisi partai, dan sesuai ketentuan Undang-Undang yang menentukan Capres dan Cawapres itu Parpol dan koalisi parpol. Jadi saya mau bilang itu bukan wewenang saya, bukan wewenang Pak Lurah. Walaupun saya paham sudah nasib seorang Presiden untuk dijadikan paten-patenan, dijadikan alibi, dijadikan tameng."
"Bahkan walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana. Saya ke Provinsi A eh ada, ke Kota B eh ada, ke Kabupaten C ada. Sampai ke tikungan-tikungan di desa ada juga. Tapi bukan foto saya sendirian. Ada yang di sebelahnya bareng Capres. Ya tidak apa-apa, boleh-boleh saja. Posisi Presiden itu, tidak senyaman yang dipersepsikan. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan, dan dengan adanya media sosial seperti sekarang ini apapun bisa sampai ke Presiden."
"Mulai dari masalah rakyat di pinggiran sampai kemarahan, ejekan, bahkan makian dan fitnahan. Bisa dengan mudah disampaikan."
"Saya tahu ada yang mengatakan Saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya tidak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja."
"Tapi yang membuat saya sedih budaya santun budi pekerti luhur bangsa ini, kok kelihatannya mulai hilang? Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia."
Memang tidak semua seperti itu. Saya melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik. Bersatu menjaga mentalitas masyarakat, sehingga kita bisa tetap melangkah maju menjalankan transformasi bangsa menuju Indonesia maju. Menuju Indonesia Emas 2045.