Problematis Presiden Rakyat Merangkap Politisi
Tolonglah mengerti bahwa kita ini juga politisi, tapi juga pejabat publik," kata Jokowi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil 6 ketua umum partai politik ke Istana Jakarta, Selasa (2/5). Agenda utamanya, membahas dinamika politik menuju Pemilu 2024.
Jokowi juga tampak hadir di Istana Batu Tulis Bogor, saat PDIP mengumumkan pencalonan Ganjar Pranowo sebagai presiden di Pemilu 2024. Aktivitas politik Jokowi dianggap terlalu jauh mencampuri urusan capres dan cawapres.
-
Apa harapan Jokowi untuk Pemilu 2024? Jokowi ingin Pemilu Serentak 2024 ini berlangsung jujur, adil, langsung, umum, dan rahasia (jurdil dan luber) sehingga membawa kegembiraan bagi masyarakat.
-
Kenapa Jokowi ingin Pemilu 2024 jadi Pesta Rakyat? Ya ini adalah pesta demokrasi kita berharap ini betul-betul jadi pesta rakyat, dan juga berlangsung dengan jurdil, luber dan diiktui oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kegembiraaan karena ini adalah pesta rakyat. Pesta demokrasi," jelasnya.
-
Apa usulan PKS untuk Presiden Jokowi terkait capres 2024? Sekjen PKS Aboe Bakar Alhabsyi atau Habib Aboe mengusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang bakal capres Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto untuk makan siang di Istana Kepresidenan.
-
Kapan Pemilu Presiden akan diselenggarakan pada tahun 2024? Pada 2024 nanti, Indonesia akan dihadapkan pada dua pemilihan umum, pemilihan presiden pada Februari, dan pemilihan kepala daerah pada November.
-
Kapan Pemilu Presiden 2024 dilaksanakan? Pemilihan ini akan dilaksanakan pada Rabu 14 Februari 2024, bersamaan dengan pemilihan umum anggota DPR RI, DPD RI, dan DPRD di seluruh Indonesia.
-
Mengapa Pemilu Presiden 2024 penting bagi Indonesia? Pemilihan umum presiden adalah momen krusial dalam perjalanan sebuah negara, di mana rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan arah dan kepemimpinan masa depan.
Ditambah lagi, beberapa kali Jokowi mengakui mendukung pencalonan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo di Pemilu 2024.Bahkan, tak jarang Jokowi mengajak kunjungan kerja bersama kedua capres tersebut.
Jokowi tertawa lebar saat menjawab kritik terlalu cawe-cawe urusan politik jelang Pemilu 2024. Menurut dia, pemanggilan 6 ketum parpol pro pemerintah ke Istana hanya sekadar diskusi.
"Saya tadi sampaikan, saya ini juga pejabat politik," kata Jokowi.
Dia menegaskan, urusan capres dan cawapres ranahnya partai politik. Menurut dia, tidak ada salahnya apabila parpol mengundang dirinya untuk memberikan saran.
“Tapi kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka boleh-boleh saja. Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada," tegas Jokowi.
Jokowi meminta masyarakat memahami, bahwa selain menjadi presiden rakyat, dirinya juga seorang politikus. "Tolonglah mengerti bahwa kita ini juga politisi, tapi juga pejabat publik," imbuhnya.
Birokrasi Rentan
Menanggapi netralitas Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024, Analis komunikasi politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo mengatakan, presiden bukan penyelenggara Pemilu secara langsung. Tetapi presiden berperan dalam mempersiapkan infrastruktur serta keamanan Pemilu. Namun, ketika presiden ikut campur maka menjadi hal yang tidak baik.
"Jadi ketika presiden kemudian ikut campur baik secara politik, baik itu dalam soal pembentukan koalisi atau bahkan penentuan capres/cawapres dari koalisi partai menurut saya, (Jokowi) jadi wasit yang juga bermain dalam pertandingan. Jadi hasil pertandingannya tidak akan punya legitimasi yang bagus. Hasil Pemilunya dipertanyakan publik dan itu kan jadi problematis," ujar Kunto Adi kepada merdeka.com, Kamis (4/5).
Kunto menuturkan, jika hasil Pemilu tidak memiliki legitimasi yang bagus. Maka penyebabnya adalah Pemilu yang sudah dinodai oleh wasit.
"Kalau pemerintahan yang terbentuk dari pemilu ternyata tidak memiliki legitimasi yang bagus di mata rakyat. Karena ketika penyelenggaraan Pemilunya sendiri sudah dinodai wasit yang ikut bermain itu," sambungnya.
Jokowi sebagai presiden, kata Kunto, memiliki birokrasi yang diwariskan sejak zaman Orde Baru. Birokrasi ini yang menjadi kekuatan mobilisasi paling penting sejak zaman orde baru dalam Pemilihan Umum. Sehingga walaupun Orde Baru sudah tidak ada, katanya, tapi praktik kecurangan pemilu lewat demokrasi belum tentu hilang.
"Masih bisa kita jumpai, baik itu di Pemilu, Pilpres maupun Pilkada," kata Kunto.
Kunto menambahkan, ketika presidennya ikut campur dan memberikan sinyal bahwa mendukung capres, apalagi ikut membidani lahirnya koalisi, hal itu dinilai sangat berbahaya.
"Karena birokratnya bisa membaca arah itu. Kemudian, walaupun dia tidak memberikan perintah, birokratnya bisa berinisiatif untuk memobilisasi memenangkan calon tertentu dan itu melanggar aturan main Pemilu," ujar Kunto.
Kunto juga mengkritisi apa yang dilakukan Jokowi saat ini dalam regenerasi kepemimpinan nasional. Dia mengibaratkan, seperti memotong anak tangga sehingga orang tidak bisa naik.
"Ini sangat berbahaya jika tidak ada regenerasi nasional, akhirnya kan seperti yang kita alami Orde Baru, regenerasinya terbatas, bahkan muncul kejumutan dan kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama," ujar Kunto.
Maka dari itu, Kunto memberikan saran agar Jokowi bersikap netral. Karena menurutnya berpihak pada salah satu partai itu tidak etis.
"Karena dia membidani koalisi, sedang membidani koalisi besar ini, beberapa kali Pak Jokowi terlibat perbincangan dengan ketua-ketua partai bahkan juga seakan-akan mengendorse tokoh-tokoh tertentu untuk jadi capres. Secara etis itu kan tidak etis ya karena alasan-alasan tadi," katanya.
Kunto juga membandingkan dengan kepemimpinan SBY sebelumnya. Pada saat itu, SBY memilih netral dan tidak ikut cawe-cawe pada Pemilu 2014.
"Kalau dibandingkan SBY, kita bisa lihat Pak SBY tidak ikut campur sama sekali, dia lepas tangan dan dia bisa dengan sukses menyelenggarakan pemilu yang akhirnya melahirkan pemimpin Pak Jokowi yang kita kenal sekarang sebagai presiden.
Menurutnya, Jokowi harusnya mengikuti legacy SBY tersebut. Supaya bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang jauh lebih baik lagi.
Sementara itu, Peneliti Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro menilai, Jokowi memiliki kepentingan jika dibandingkan SBY dahulu.
"Presiden Jokowi kelihatan sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa next presiden itu akan melanjutkan apa yang dia rintis dan bangun selama ini. Rerutama yang paling krusial adalah Ibu Kota Nusantara," ujar Bawono.
Menurut dia, IKN project yang akan menjadi masterpiece atau legacy pemerintahan Jokowi. Sehingga, harus memastikan presiden selanjutnya mengawal program tersebut.
Makanya, ujar dia, dalam beberapa kesempatan Jokowi kerap mengumpulkan partai-partai koalisi. Baik di markas PAN saat Ramadan. Maupun terakhir, di istana dua hari lalu.
"Jadi memang dalam hal itu terlihat dari luar Pak Jokowi itu dibandingkan Pak SBY yang cenderung tidak netral," sambungnya.
Padahal, menurut Bawono, presiden seharusnya memiliki sikap netral dan memperlakukan setiap calon pasangan presiden dan wakilnya dengan sama.
"Dalam kondisi ideal baik sekali kalau presiden bersikap netral, artinya memperlakukan sama setiap pasangan calon yang muncul di Pilpres dengan tidak menunjukkan kecondongan, tendensi kepada pihak tertentu sementara mengenyampingkan pihak tertentu. Memang kondisi idealnya adalah berdiri di atas semua pasangan calon," ujar Bawono.
Bawono juga mengingatkan bahwa Jokowi aktor politik yang memiliki kemungkinan untuk menjadi king maker di Pilpres 2024.
"Memang selain Bu Mega dan Surya Paloh, orang yang berpotensi menjadi king maker di Pilpres adalah Pak Jokowi, meskipun dia bukan Ketua partai," tegas dia.
Jokowi, katanya, memiliki rating tinggi, tingkat kepuasan publik yang dapat mempengaruhi pendukungnya di Pemilu 2024.
"Beliau merasa itu dapat menjadi modal untuk kemudian menjadi King Maker di Pilpres 2024," tutupnya.
Reporter Magang: Alya Fathinah
(mdk/rnd)