Rapat dengan DPR, KPU dicecar soal petahana di surat edaran
Husni menjelaskan surat edaran tersebut segaris dengan PKPU dan UU yang telah dibahas pemerintah dan DPR.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan surat edaran nomor 302/VI/KPU/2015 yang banyak dianggap membuka celah hukum untuk membangun dinasti politik. Akibatnya, beberapa anggota Komisi II DPR mempertanyakan surat edaran tersebut dalam rapat kerja dengan KPU hari ini.
Anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan mempertanyakan asal muasal surat edaran ini.
"Coba tolong jelaskan bagaimana KPU bisa mengeluarkan surat edaran ini. Lalu jelaskan juga kepada kami soal definisi petahana yang dimaksud di surat edaran. Jangan sampai merugikan para incumbent," ujar Arteria dalam rapat kerja dengan KPU, Rabu (24/6).
Anggota Komisi II dari Fraksi NasDem, Luthfi A Mutty, juga menyampaikan keheranannya dengan surat edaran tersebut. "Tolong dijelaskan apa maksud dari surat edaran itu," kata dia.
Dalam surat edaran tersebut, KPU menilai kepala daerah yang mundur dari jabatannya tidak dapat lagi disebut sebagai petahana. Ketua KPU Husni Kamil Manik menyebut petahana adalah seseorang yang masih menjabat sebagai kepala daerah hingga waktu pendaftaran. Jika kepala daerah tersebut sudah mundur pada waktu pendaftaran KPU, maka seseorang tersebut tidak dapat disebut petahana.
"Pengertian petahana yang dirujuk adalah mereka yang sedang menjabat. Jadi kalau masa kepengurusannya jatuh satu hari sebelum pencalonan, bukan petahana lagi," kata dia.
Husni menjelaskan surat edaran tersebut segaris dengan Peraturan KPU (PKPU) dan Undang-undang nomor 8 tahun 2015 Pilkada yang dibahas bersama dengan pemerintah dan DPR. Karenanya, ia membantah pihaknya telah membuat definisi baru tentang petahana.
Sementara, rapat yang masih berlangsung ini masih membahas apakah surat edaran tersebut perlu ditinjau ulang atau tidak.
"Kita akan cermati apakah harus ditinjau ulang atau kita revisi usulan dari PKPU itu," kata Ketua Komisi II DPR yang sekaligus memimpin rapat ini, Rambe Kamarulzaman.
Seperti diketahui, menyambut Pilkada serentak bulan Desember mendatang muncul fenomena di mana banyaknya kepala daerah yang mundur sebelum masa jabatannya habis agar menghindari status petahana. Caranya, dengan mengundurkan diri sebelum masa jabatannya selesai.
Baca juga:
'Jelang Pilkada serentak, KPU rawan permainan politik'
'Sibuk pantau pelanggaran, KPU lalai awasi penggunaan anggaran'
Dana operasional Rp 1,2 M cair, Panwaslu Solo tak lagi saweran
Ketua KPU: 80 Pasangan calon independen gugur di Pilkada serentak
Bahas temuan BPK Pemilu rugi Rp 34 M, KPU kembali rapat dengan DPR
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Kenapa Pilkada Serentak dianggap penting? Sejak terakhir dilaksanakan tahun 2020, kali ini Pilkada serentak diselenggarakan pada tahun 2024. Dengan begitu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui kapan Pilkada serentak dilaksanakan 2024.
-
Mengapa Pilkada Serentak diadakan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.