Rapat dengan Komisi II DPR, HTI, FPI, dan Alumni 212 tolak Perppu Ormas
Rapat Komisi II membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan diwarnai penolakan dan catatan kritis dari sejumlah ormas. Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) hingga Presidium Alumni 212 menyatakan penolakan terhadap Perppu Ormas.
Rapat Komisi II membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan diwarnai penolakan dan catatan kritis dari sejumlah ormas. Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) hingga Presidium Alumni 212 menyatakan penolakan terhadap Perppu Ormas.
Jubir FPI Munarman mengatakan, Perppu Ormas tidak layak untuk diterima. Hal ini karena bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.
Penerbitan Perppu Ormas, kata Munarman, tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa. Pemerintah bisa mengeluarkan Perppu berdasarkan 3 kondisi, pertama adanya darurat sipil atau kerusuhan sosial, bencana alam dan perang.
"Kalau ada Perppu keluar tanpa keadaan perang dan kerusuhan sosial itu maka tidak memungkinkan untuk dikeluarkannya Perppu. Di penjelasan Perppu harus ada keadaan kenapa harus ada Perppu," kata Munarman di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/10).
Dikonfirmasi lagi setelah rapat, Munarman menjelaskan Perppu Ormas secara substansi bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis lantaran menghilangkan peran pengadilan dalam membubarkan ormas.
"Perppu ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis secara substansial bahwa Perppu ini menghilangkan peran yudikatif sebagai bagian dari kekuasaan resmi di negara ini untuk menilai," terangnya.
Sebab, menurutnya, prinsip hukum menyebut pihak yang menuduh pihak lain maka harus membuktikan yang tertuduh berbuat kesalahan. Akan tetapi, Perppu itu malah mengatur sebaliknya.
Jika pemerintah yang menuduh suatu ormas bertentangan dengan Pancasila, maka ormas itu yang harus membuktikan mereka tidak bersalah.
"Tapi di Perppu ini terbalik, Pemerintah secara subjektif itu bisa menuduh salah satu ormas untuk dibubarkan karena melanggar UU. Tapi kemudian ormasnya diminta membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah," tegas dia.
Di lokasi sama, Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma'arif menyebut dalam konteks Perppu Ormas, Presiden Joko Widodo sama sekali belum menjelaskan soal kondisi kegentingan memaksa.
Slamet menegaskan, pihaknya akan menyampaikan kepada masyarakat Indonesia agar tidak memilih partai-partai yang mendukung Perppu Ormas di Pemilu 2019 mendatang.
"Dalam kontek Perppu tentang organisasi kensyarakatan Presiden Jokowi tidak pernah sekalipun mengeluarkan statement of emergency yang menjadi landasan," tambahnya.
Sejalan dengan FPI dan Presidium 212, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menambahkan, secara materiil Perppu Ormas mengandung banyak persoalan. Perppu Ormas disebut melahirkan ketidakpastian hukum terutama pengertian paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Selain itu, substansi Perppu yang krusial adalah hilangnya kekuasaan kehakiman. Hilangnya kuasa kehakiman ini bertentangan dengan prinsip keadilan hukum seperti yang diatur dalam peraturan perundangan.
"Penjelasan mengenai paham yang bertentangan dengan Pancasila dari pasal 59 ayat 4 huruf c mengenai larangan ormas menganut, mengembangkan dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, justru menimbulkan multitafsir," ucapnya.