Rieke sebut audit BPK soal Pelindo II masih bagian pertama
Rieke sebut audit BPK soal Pelindo II masih bagian pertama. Perpanjangan kontrak tersebut langsung disetujui tanpa ada rencana kerja dan RUPS hingga tahun 2039. Padahal kontrak tersebut seharusnya berakhir pada tahun 2019 dan bila tidak diperpanjang maka menjadi hak milik Indonesia.
Ketua Pansus Hak Angket PT Pelindo II Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan, laporan hasil audit yang diberikan BPK barulah bagian pertama. Sebab Pansus hak angket meminta BPK untuk melakukan audit terhadap pengadaan barang, perpanjangan kontrak dengan PT Jakarta International Container, global Bond dan proyek Kalibaru.
"Ini yang dikeluarkan baru 1, karena BPK mengatakan ini bukan persoalan gampang karena melibatkan otoritas keuangan di negara orang, perbankan asing juga," kata Rieke di Komplek DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/6).
Hasil audit yang diindikasi merugikan negara mininal Rp 4,1 triliun itu merupakan tahap pertama dari perpanjangan kontrak PT JICT yang diperpanjang sebelum tenggat waktu. Seharusnya, perpanjangan tersebut dilakukan tahun 2019, tetapi perpanjangan kontrak tersebut dilakukan pada tahun 2015 tanpa proses administratif.
"Terindikasi kuat terjadi strategi transfer pricing dan sebagainya yang dilakukan oleh pihak deutsch bank bekerja sama dengan pihak indonesia dalam hal ini mereka yg ada di pelindo II dan juga pihak tertentu yang mengeluarkan izin," kata Rieke.
Perpanjangan kontrak tersebut langsung disetujui tanpa ada rencana kerja dan RUPS hingga tahun 2039. Padahal kontrak tersebut seharusnya berakhir pada tahun 2019 dan bila tidak diperpanjang maka menjadi hak milik Indonesia.
"Nah kalau dari pansus sendiri menghitung kerugian hingga future value, nilai kerugian di masa akan datang. Kurang lebih karena ada 49 persen saham yang diambil oleh Hutchison yang sebenarnya secara legal belum terjadi komposisi saham yang sah," kata Rieke.
"Karena kalau dalam ketentuan kami indonesia 49 persen bukan 51 persen. Padahal untuk modal asing, indonesia harus 51 persen (kepemilikan saham). Dengan hitungan 49 persen maka kerugian sampai 2039 adalah sekitar 17 sekian triliun, nah itu future value," paparnya.
Sementara yang dilakukan oleh BPK adalah kerugian yang terjadi saat ini akibat berbagai proses yang tidak sesuai ketentuan hukum dan penghitungan yang ada indikasi merupakan tindakan kejahatan keuangan dan sebagainya.
"Saat ini, saya kira akan terus mengejar global bond dan juga kalibaru. Saya kira memang harus satu-satu, karena ini bukan persoalan yang gampang. Kami mengerti kenapa BPK juga cukup lama mengaudit," tukasnya.