Singgung Sumpah Presiden, Megawati Sebut Penentang Putusan MK Bukan Orang Indonesia
Megawati mengatakan, seharusnya putusan MK tidak dipertentangkan.
Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyoroti Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada. RUU ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan pada Selasa (20/8).
Megawati mengatakan, seharusnya putusan MK tidak dipertentangkan. Sebab, merujuk pada Pasal 24 c ayat 1, putusan MK dalam menguji undang-undang bersifat final dan mengikat.
- Megawati Tegaskan Mau Diusung di Pilkada Harus Jadi Kader PDIP: Jangan Dompleng Saja
- Megawati Singgung Orang yang Ingin Terus Rasakan Kenikmatan Istana: Sudah Berhenti dah
- Megawati Singgung MK Barang Bagus Tak Digunakan dengan Baik: Siapa Yang Salah?
- Makna Anggrek Ungu Spesial Pemberian Presiden Jokowi untuk Megawati
"(MK) menguji UU berarti UU berada di bawahnya. Terhadap UUD, benar apa tidak? Nah jangan bego, juga nggak ngerti," kata Megawati di Kantor Pusat PDIP, di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Kamis (22/8).
Megawati menyinggung sumpah presiden dan wakil presiden kepada seluruh rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Dia mengatakan, mengingkari keputusan MK sama saja dengan melanggar konstitusi.
"Kalau ada orang yang akan menantang apa yang berbunyi di pasal-pasal ini, maka dia bukan orang Indonesia," ujarnya.
Megawati mengungkapkan percakapannya dengan mantan Ketua MK Mahfud MD terkait RUU Pilkada untuk menganulir putusan MK. Megawati sempat bertanya apakah ada pasal yang bisa digunakan untuk melawan putusan MK.
"Orang saya ini lihat kejadian yang dari pagi segala ini. Saya sampai nanya, itu Pak Mahfud pasal apa yang dipakai? Beliau hanya ketawa saja. Berarti kali nggk ada pasalnya loh, tanya ama beliau," ucap Megawati.
RUU Pilkada yang digulirkan DPR menuai polemik. Tak sedikit masyarakat yang menolak upaya DPR untuk menganulir putusan MK itu.
Lewat RUU Pilkada itu, DPR mengakali putusan MK dengan membuat ambang batas pencalonan kepala daerah hanya untuk partai politik yang tak punya kursi di DPRD.
Sementara partai politik yang memiliki kursi di parlemen, tetap mengikuti ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg.
Padahal, dalam putusan MK, ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.
Selain itu, DPR mengalami batas usia calon kepala daerah. DPR memilih merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyebutkan calon kepala daerah minimal berusia 30 tahun sejak dilantik sebagai kepala daerah.
Hal ini berbeda dengan putusan MK yang menyebut, calon kepala daerah minimal berusia 30 tahun sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah.