'Syndrome Hiper Reality bikin wartawan ramai maju Pilwali Surabaya'
Di Surabaya, masyarakatnya lebih melek media, sehingga ada kecenderungan media dapat dengan mudah menggiring opini.
Praktisi media massa ramai-ramai maju di Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Surabaya, Jawa Timur Tahun 2015, karena 'Syndrome Hiper Reality'. Inilah penilaian yang disampaikan pengamat komunikasi politik asal Universitas Airlangga Surabaya (Unair), Sukowidodo menyikapi gejala politik jelang Pilkada di Kota Pahlawan.
Suko juga menyebut, munculnya tokoh-tokoh media massa di kancah perpolitikan Surabaya ini, ditengarai terinspirasi dari mantan Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi. Mantan Pemred Jawa Pos ini, pernah mendampingi Bambang Dwi Hartono memimpin kota yang zaman dulu dijuluki Hujung Galuh tersebut. Bambang-Arif, memimpin Surabaya pada periode 2005-2010.
Kemudian pada Pilwali 2010, Arif maju sebagai calon wali kota didampingi Adies Kadir, sedang Bambang mendampingi Tri Rismaharini, yang saat ini menjabat sebagai wali kota.
Sementara pada Pilwali Surabaya 2015 mendatang, muncul lima tokoh media yang dikabarkan bakal maju merebutkan kursi balai kota satu. Lima nama itu adalah, Dhimam Abror, mantan jurnalis yang saat ini menjadi Ketua Harian KONI Jawa Timur.
Kemudian M Mahmud, mantan Ketua DPRD Surabaya dari Partai Demokrat, yang juga mantan jurnalis serta pemred salah satu koran harian kriminal di Surabaya. Selanjutnya Sukoto, pimpinan harian kriminal, dan Budi Sugiaharto alias Uglu, fotografer sekaligus kabiro Surabaya salah satu media online ternama.
Terakhir praktisi media yang disebut-sebut bakal maju di Pilwali Surabaya adalah anak mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yaitu Azrul Ananda, yang notabenenya sebagai direktor Jawa Pos. "Mereka harus hati-hati dan harus tetap base on riset, jika memang serius maju di Pilwali Surabaya mendatang," kata Suko mengingatkan.
âªDia menyebut, munculnya tokoh-tokoh media massa menjadi kandidat yang akan maju di Pilwali Surabaya ini, merupakan bentuk 'Syndrome Hiper Reality'.
"Atau merasa bisa membentuk opini publik, karena memiliki pengalaman di media massa. Padahal, realitas media itu berbeda dengan agenda publik," tegas dia.â¬
âªâªSelain itu, lanjut dia, para bakal calon dari tokoh media itu, juga perlu melakukan interaksi dengan publik, karena sejatinya itu menjadi modal utama maju di Pemilukada.
"Ingat, ahli media itu berbeda dengan ahli komunikasi dengan publik. Jadi pengamalan berinteraksi dengan publik itu juga sangat menentukan," sambungnya mengingatkan.
âªDia mengakui, seperti Dhimam Abror misalnya. Ketika memutuskan maju, dia memiliki segudang pengalaman yang cukup. Abror, kata Suko, pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Ketua Harian KONI Jawa Timur, serta Ketua Harian PSSI.
Begitu juga Azrul Ananda. Cukup berpengalaman menangani Bola Basket. Selanjutnya Sukoto. Suko Widodo menyebut, Sukoto kerap bergerilya langsung ke warga pinggiran. "Sedangkan Uglu, belum memiliki pengalaman yang memadai," nilainya.
Terpisah, pengamat politik dari Bangun Indonesia, Agus Mahfud Fauzi juga menyebut, munculnya tokoh-tokoh media, karena Kota Surabaya pernah memiliki wakil wali kota dari kalangan jurnalis, yaitu Arif Affandi.
"Mungkin mereka ini terinspirasi atas kesuksesan Arif Affandi, yang berhasil menjadi wakil wali kota mendampingi Bambang DH pada periode 2005-2015," jelasnya.
âªDi sisi lain, sambung Agus, karakteristik Kota Pahlawan, berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Di Surabaya, masyarakatnya lebih melek media, sehingga ada kecenderungan media dapat dengan mudah menggiring opini masyarakat untuk berbuat sesuatu agar kotanya menjadi lebih baik.â¬
âª"Banyak ide-ide pembangunan di Surabaya itu berasal dari opini yang dibangun media massa, yang untuk kemudian ditanggapi dan didukung oleh masyarakat. Kemudian opini itu direalisasi oleh pemerintah kota," ungkap mantan Komisioner KPU Jawa Timur ini.
Sementara terkait 'kenekatan' para jurnalis ini di Pilwali 2015, pria asal Ponorogo ini menyampaikan analisanya, hal itu lebih disebabkan sikap Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Risma cenderung bersikap tidak jelas: Apakah akan kembali maju atau tidak, serta akan menggandeng siapa yang akan menjadi wakilnya? "Nah, sikap Risma inilah, yang agaknya menjadi peluang tokoh-tokoh media untuk berusaha mengambil alih posisi tersebut," ucapnya.
Sedangkan terkait peluang, Agus mengatakan, yang paling berpotensi maju sebagai calon wali kota adalah Dhimam Abror dan Azrul Ananda. Ini karena berdasarkan pengalaman kedua tokoh tersebut. Untuk Sukoto dan Uglu, paling banter menjadi calon wakil wali kota.â¬
âª"Mereka (Sukoto dan Uglu) itu bisa saja digandeng Tri Rismaharini jika nanti memang berniat maju lagi atau diusung PDIP, serta koalisi dari parpol-parpol lain," pungkasnya.