Tak mau langgar pasal 158, MK tolak seluruh gugatan hasil Pilkada
"Rekayasa sosial UU Pilkada bekerja dengan baik, meskipun belum bisa dikatakan optimal," kata Palguna.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan sengketa pilkada yang diajukan oleh pemohon. Hari ini, MK gugurkan 26 permohonan, sebelumnya MK juga telah menolak 35 gugatan karena telat mendaftarkan berkas.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa semua perkara itu tak ada yang memenuhi syarat selisih suara maksimal dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) dan Pasal 6 Peraturan MK (PMK) Nomor 1-5 tahun 2015.
Masih dalam pertimbangannya, 9 hakim dalam sidang pleno ini sepakat, bahwa MK tak bisa mengabaikan keberadaan 2 peraturan tersebut. Sebab, peraturan itulah aturan main dalam sebuah pertandingan olah raga. Aturan main itu yang sudah ditentukan sejak pertandingan belum dimulai. Di mana seharusnya semua pemain dan wasit sudah mengetahui aturan main tersebut.
"Wasit pun harus tunduk pada aturan main tersebut," kata Hakim Konstitusi I Gde Dewa Palguna saat membacakan pertimbangan dalam putusan sela salah satu perkara PHPKada di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/1).
Palguna mengatakan, dengan menjadikan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK Nomor 1-5/2015 itu, bukan berati MK menjadi terompet dan corong undang-undang. Dia sekali lagi menggarisbawahi bahwa perlu adanyan rules of the game dalam kompetisi dan kontestasi politik seperti perkara sengketa pilkada ini.
Keberadaan peraturan itu yang mensyaratkan maksimal perbedaan suara yang didasarkan dengan jumlah penduduk masing-masing daerah adalah untuk menekan jumlah sengketa pilkada yang terdaftar. Lihat saja, bagaimana pendaftaran perkara PHPKada mencapai 147 perkara dari 132 daerah, di satu sisi 264 daerah pilkada serentak, membuktikan bahwa aturan itu tetap saja tak dapat membendung perkara-perkara yang masuk. Meski mereka sudah tahu aturan main itu.
Palguna menambahkan, jelas bahwa keberadaan Pasal 158 UU Pilkada itu merupakan bentuk rekayasa sosial dan sebagai upaya pembatasan jumlah perkara yang masuk dalam waktu jangka panjang. Di mana nantinya dapat membangun budaya politik yang erat kaitannya dengan kesadaran hukum yang tinggi.
Apalagi, pasangan calon di 132 daerah lain yang tidak mengajukan permohonan ke MK, besar kemungkinan sudah memiliki kesadaran dan pemahaman atas adanya ketentuan Pasal 158 UU a quo.
"Kesadaran hukum yang demikian akan terlihat yang mana selisih suara tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU a quo, pasangan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak mengajukan keberatan ke mahkamah," paparnya.
"Hal demikian berarti rekayasa sosial UU Pilkada bekerja dengan baik, meskipun belum bisa dikatakan optimal," sambung Palguna.
Menurut dia, jika MK dipaksakan untuk mengabaikan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK 1-5 tahun 2015, maka sama halnya dengan mendorong MK melakukan pelanggaran hukum. Melanggar undang-undang.
"Hal demikian tidak boleh terjadi. Karena selain bertentangan dengan prinsip negara hukum Indonesia, juga menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan mahkamah in casu hakim konstitusi untuk melakukan tindakan yang melanggar sumpah jabatan tentang kode etik hakim konstitusi," pungkasnya.
Baca juga:
Gugatannya ditolak MK, Ini kata lawan Airin di Pilkada Tangsel
Jimly: Syarat 2 persen ajukan sengketa Pilkada membatasi hak rakyat
MK tolak gugatan sengketa hasil Pilkada 26 daerah
MK tolak 35 gugatan Pilkada karena telat daftar, lima menarik diri
MK tolak gugatan hasil Pilkada Ogan Ilir yang diajukan Helmy Yahya
KPU sudah prediksi MK banyak tolak sengketa pilkada
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kenapa Pilkada Serentak dianggap penting? Sejak terakhir dilaksanakan tahun 2020, kali ini Pilkada serentak diselenggarakan pada tahun 2024. Dengan begitu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui kapan Pilkada serentak dilaksanakan 2024.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.