TKN Respons Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Kembali Merosot
Survei Transparency International Indonesia (TII) terhadap IPK menempatkan Indonesia peringkat 115 dari 180 negara.
Survei Transparency International Indonesia (TII) terhadap IPK menempatkan Indonesia peringkat 115 dari 180 negara.
- Ternyata Ini yang Bikin Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun
- Ganjar Soroti Indeks Korupsi Merosot: Kita Tak Serius Mengawal Itu, Good Governance Mesti Diberikan
- Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot, Ini Catatan Mantan Ketua KPK ke Pemerintah
- Indeks Persepsi Korupsi Stagnan, Indonesia Merosot ke Ranking 115 dari 180 Negara
TKN Respons Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Kembali Merosot
Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis menilai skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami stagnasi dengan skor 34 pada tahun 2023, adalag kondisi yang buruk dan harus segera diperbaiki.
Skor itu sebagaimana hasil survei Transparency International Indonesia (TII) terhadap IPK menempatkan Indonesia peringkat 115 dari 180 negara terendah dalam skor IPK per tahun 2023. Dengan kondisi skor yang stagnan 34, sama dengan tahun 2022.
"Angka 34 itu angka yang jelek. Saya kira pada zaman Jokowi lah pemberantasan korupsi itu dibunuh,” kata Todung saat saat konferensi pers Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Selasa (30/1).
Menurut Todung, penurunan nilai IPK ini terjadi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terjadi saat perubahan periode pertama dengan periode kedua. Dengan sejumlah kebijakan yang ternyata dianggap melemahkan pemberantasan korupsi.
Semisal, revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap turut melemahkan KPK.
“Pada periode pertama pemerintahan Jokowi kita masih melihat angka kenaikan IPK, tapi setelah itu pada periode kedua setelah revisi UU, KPK secara sistematis dimatikan," kata Todung.
Padahal, IPK terbesar Indonesia sempat pada titik tertinggi pada awal periode kedua pemerintahan tahun 2019 dengan skor 40. Tetapi, angkanya kembali turun menjadi 37 di tahun 2020, kemudian naik sedikit di angka 38, namun turun lagi ke 34 pada tahun 2022, sampai stagnan pada 2023.
"Kalau misalnya tidak ada revisi UU KPK, saya yakin IPK kita sudah akan naik dari 40, mungkin ke 46 atau 48. Nah, ini tidak terjadi. Saya kira kita akan mencatat pemerintahan ini sebagai pemerintahan yang melemahkan pemberantasan korupsi," kata Todung.
Oleh sebab itu, Todung pun menyoroti pelemahan yang terjadi ini telah dilakukan by desain. Semisal kondisi KPK yang nampak, ada pihak yang tidak menginginkan kuat, namun kritik-kritik yang digelorakan untuk memperkuat tidak membuahkan hasil.
“Karena banyak sekali yang akan menjadi korban KPK, kalau KPK tetap kuat. Jadi by desain KPK dilemahkan. Dan saya melihat civil society tidak berdaya untuk menghentikan itu. Walaupun sudah berjuang habis-habisan. Partai Politik komplisit in way dalam melemahkan KPK, karena mereka adalah sasaran tembak dari KPK,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Todung menyampaikan selain upaya memperkuat KPK. Pasangan Ganjar-Mahfud juga berupaya untuk mencegah terjadinya korupsi, dengan cara digitalisasi pemerintahan atau E-Goverment.
“Selama personal contact terjadi, personel contact itu membuka ruang buat korupsi. Tetapi ketika digitalisasi E- Goverment berfungsi kita akan mampu meminimalisasi (potebsi terjadinya korupsi),” ujarnya.