UU Pemilu resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi
UU Pemilu resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Wakil Ketua ACTA, Dahlan Pido mengatakan, timnya baru saja mengajukan gugatan ke MK siang ini Senin (24/7). Pihaknya menilai, ada sejumlah pasal yang melanggar konstitusi yang diatur dalam UUD 1945.
Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. UU Pemilu baru saja disahkan oleh DPR pada Kamis (20/7) tengah malam lalu.
Wakil Ketua ACTA, Dahlan Pido mengatakan, timnya baru saja mengajukan gugatan ke MK siang ini Senin (24/7). Pihaknya menilai, ada sejumlah pasal yang melanggar konstitusi yang diatur dalam UUD 1945.
"Ini baru saja didaftarkan," kata Dahlan saat dihubungi merdeka.com.
Dahlan mengatakan, pasal yang diajukan judicial review ke MK adalah pasal 222. Yakni pasal mengatur tentang presidential threshold 20 persen suara parlemen dan 25 persen suara sah nasional.
"Kami menganggap pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol pengusul capres/wapres mempunyai setidaknya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya bertentangan dengan pasal 4, pasal 6A, pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945," kata Dahlan.
ACTA menilai, pengaturan pasal 222 UU Pemilu tahun 2017 menabrak logika sistem presidensial sebagaimana diatur pasal 4 UUD 1945. Di samping itu, pasal 222 ini dinilai akan mempermudah presiden tersandera partai politik hingga akhirnya bisa saja melakukan bagi-bagi jabatan kepada politisi dari partai pendukung.
Pasal 222 juga dinilai menyalahi tata cara aturan Pemilu yang diatur dalam pasal 6A UUD 1945. Dalam pasal 6A ayat (1), kata Dahlan, diatur bahwa yang bisa mengusulkan capres dan cawapres adalah parpol peserta pemilu tanpa embel-embel berapa perolehan kursi parlemen atau suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Ketentuan tersebut diperkuat dengan fakta tidak adanya ketentuan bahwa pembuat UU berwenang membuat aturan yang megnatur soal persyaratan lebih jauh partai pengusul calon presiden," jelas Dahlan.
Terakhir, ACTA juga melihat bahwa pasal 222 ini menimbulkan diskriminasi terhadap parpol peserta pemilu. Sebab parpol yang baru ikut pemilu serta parpol yang tak capai 20 persen suara kehilangan hak mengusulkan capres dan cawapres.
"Petitum utama kami adalah memohon agar majelis hakim MK dapat menyatakan pasal 222 UU Pemilu 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tutupnya.
Seperti diketahui, UU Pemilu disahkan DPR dengan sejumlah pro dan kontra. Dalam rapat paripurna pengesahannya, Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS memilih walkout. Sebab, mereka tak setuju dengan aturan ambang batas capres 20 persen. Sementara Fraksi PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PPP, PKB mendukung aturan itu.