Warga Pilih Coblos Caleg Ketimbang Partai: Saya Tahu Titipkan Suara ke Siapa
Perihal kekhawatiran adanya politik uang dalam sistem terbuka, warga mengatakan hal itu menjadi tugas Bawaslu dalam mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu 2024 nanti.
Pembahasan sistem proporsional tertutup atau coblos gambar partai pada Pemilu 2024 terus bergulir. Rencana itu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Lalu apa kata masyarakat?
Riana Rizkia (24) meminta agar MK menolak gugatan atas perubahan sistem tersebut. Riana menilai, penggunaan sistem coblos caleg dianggap lebih baik, sebab dirinya tahu kepada siapa hak suaranya dia titipkan.
-
Mengapa Pemilu 2024 penting? Pemilu memegang peranan penting dalam sistem demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kehendak rakyat, memilih pemimpin yang dianggap mampu mewakili dan melayani kepentingan rakyat, menciptakan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat, serta memperkuat sistem demokrasi.
-
Bagaimana Pemilu 2024 diatur? Pelaksanaan Pemilu ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024. Regulasi ini diteken KPU RI Hasyim Asyari di Jakarta, 9 Juni 2022.
-
Kapan Pemilu 2024? Sederet petahana calon legislatif (caleg) yang sempat menimbulkan kontroversi di DPR terancam tak lolos parlemen pada Pemilu 2024.
-
Apa saja yang menjadi tahapan pemilu 2024? Melansir dari berbagai sumber, berikut ini merdeka.com merangkum informasi tentang apa saja tahapan pemilu 2024, berikut jadwal serta alurnya. Simak ulasannya sebagai berikut. Tahapan Pemilu 2024 Dikutip dari laman KPU mereka merilis informasi tentang tahapan yang akan dilalui di pemilu 2024.
-
Apa tujuan utama dari Pemilu 2024? Pemilu merupakan wadah bagi rakyat untuk menjalankan demokrasi demi mempertahankan kedaulatan negara.
"Dalam konteks kepemiluan saya setuju sistem terbuka, karena saya tahu menitipkan suara saya ke siapa. Saya mendorong keterlibatan publik untuk dibuka seluas luasnya," kata Riana, saat diwawancarai merdeka.com, di Jakarta (5/1).
Perihal kekhawatiran adanya politik uang dalam sistem terbuka, Riana mengatakan, hal itu menjadi tugas Bawaslu dalam mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu 2024 nanti. Sehingga, jalan untuk mengubah sistem kembali menjadi coblos partai bukanlah hal yang tepat.
"Kalau kita hanya memilih partai maka kewenangan elite di partai politik akan semakin besar, memangnya bawaslu dan penegak hukum berani menindak elite? Justru politik transaksional semakin bebas karena dilakukan di ruang tertutup," tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Naufal Lanten (25). Dia memilih agar sistem pemilu 2024 tetap menggunakan sistem coblos caleg.
Meskipun, dengan sistem coblos caleg tak menutup kemungkinan adanya manuver seperti politik uang dalam mencari suara. Namun, setidaknya dia bisa mengetahui siapa sosok yang dia pilih nanti di pemilu 2024.
"Kalau suruh milih, saya pilih sistem terbuka. Saya jadi tahu siapa caleg yang saya pilih," kata Naufal.
Sementara, Ferry (25) mendukung agar Pemilu 2024 tetap menerapkan sistem coblos caleg. Menurutnya, masyarakat perlu mengetahui siapa sosok wakil rakyat yang akan menampung aspirasinya kelak.
"Menurut saya sih mending coblos caleg karena dari situ kita bisa melihat kualitas orangnya seperti apa, ya kan kalau misal milih gambar parpol doang kemungkinan parpol tersebut bisa saja memilih kader yang memang kita tak tahu kualitasnya dan bisa jadi dapat menimbulkan hal negatif," katanya.
"Seperti politik uang di dalamnya, yakni siapa yang kuat membayar ya dia yang bakal dipilih parpol, seharusnya kita bisa menghindari hal yang seperti itu. Ya menurut saya lebih baik memilih sosok calegnya sih biar jelas dan enggak beli kucing dalam karung dan demi Demokrasi Indonesia juga sih," imbuh Ferry.
Sebelumnya, PDI Perjuangan percaya diri mendorong agar sistem pemilu menjadi coblos partai, sementara delapan fraksi di DPR kompak menolak.
Tak hanya itu, aturan sistem pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tengah diuji secara materiil di MK oleh dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara.
Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (Pengurus Partai PDI-Perjuangan), Yuwono Pintadi (Anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
PDI Perjuangan Dorong Coblos Partai
PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang mendukung dan mendorong adanya perubahan sistem pemilu tersebut.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai, kembalinya sistem coblos parpol sangat tepat dalam situasi demokrasi saat ini, di mana Indonesia tengah dihadapkan pada ketidakpastian secara global.
"Kita bukan hanya partai yang didesain untuk menang pemilu, tapi sebagai partai yang menjalankan fungsi kaderisasi pendidikan politik, memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik dan di situlah proporsional tertutup kami dorong," kata Hasto, saat ditemui, di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (3/1).
Tak hanya itu, Hasto menyebut, sistem coblos parpol akan mendesain penentuan caleg berdasarkan kompetensinya, bukan popularitas. Menurutnya, sistem ini bisa mendorong para akademisi, tokoh agama, dan tokoh-tokoh purnawirawan terpilih menjadi caleg.
"Yang penting kami bisa mendorong, kaum akademisi dari perguruan tinggi, tokoh-tokoh agama misalnya, tokoh-tokoh purnawirawan, itu dengan mekanisme proporsional tertutup lebih memungkinkan bagi mereka untuk didorong terpilih. Karena basenya adalah kompetensi. Jadi proporsional tertutup itu basenya adalah pemahaman terhadap fungsi-fungsi Dewan. Sementara kalau proporsional terbuka adalah popularitas," tegasnya
Delapan fraksi DPR Tolak Coblos Partai
Sebanyak 8 fraksi partai politik di DPR menyatakan menolak Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024.
8 fraksi tersebut yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Perwakilan delapan fraksi menandatangani pernyataan sikap pada 2 Januari 2023. Sikap pertama 8 fraksi yakni akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju.
Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.
"Mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara," kutipan pernyataan sikap 8 fraksi.
Masyarakat menolak coblos partai pada Pemilu 2024
Penolakan sistem coblos partai juga menguap di kalangan masyarakat, Riana Rizkia (24) meminta agar MK menolak gugatan atas perubahan sistem tersebut.
Riana menilai, penggunaan sistem coblos caleg dianggap lebih baik, sebab dirinya tahu kepada siapa hak suaranya dia titipkan.
"Dalam konteks kepemiluan saya setuju sistem terbuka, karena saya tahu menitipkan suara saya ke siapa. Saya mendorong keterlibatan publik untuk dibuka seluas luasnya," kata Riana, saat diwawancarai merdeka.com, di Jakarta (5/1).
Perihal kekhawatiran adanya politik uang dalam sistem terbuka, Riana mengatakan, hal itu menjadi tugas Bawaslu dalam mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu 2024 nanti. Sehingga, jalan untuk merubah sistem kembali menjadi coblos partai bukanlah hal yang tepat.
"Kalau kita hanya memilih partai maka kewenangan elite di partai politik akan semakin besar, memangnya bawaslu dan penegak hukum berani menindak elite? Jutru politik transaksional semakin bebas karena dilakukan di ruang tertutup," tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Naufal Lanten (25), dia memilih agar sistem pemilu 2024 tetap menggunakan sistem coblos caleg.
Meskipun, dengan sistem coblos caleg tak menutup kemungkinan adanya manuver seperti politik uang dalam mencari suara. Namun, setidaknya dia bisa mengetahui siapa sosok yang dia pilih nanti di pemilu 2024.
"Kalau suruh milih, saya pilih sistem terbuka. Saya jadi tahu siapa caleg yang saya pilih," kata Naufal.
Sementara, Ferry (25) mendukung agar Pemilu 2024 tetap menerapkan sistem coblos caleg. Menurutnya, masyarakat perlu mengetahui siapa sosok wakil rakyat yang akan menampung aspirasinya kelak.
"Menurut saya sih mending coblos caleg karena dari situ kita bisa melihat kualitas orangnya seperti apa, ya kan kalau misal milih gambar parpol doang kemungkinan parpol tersebut bisa saja memilih kader yang memang kita tak tahu kualitasnya dan bisa jadi dapat menimbulkan hal negatif," katanya.
"Seperti politik uang di dalamnya, yakni siapa yang kuat membayar ya dia yang bakal dipilih parpol, seharusnya kita bisa menghindari hal yang seperti itu. Ya menurut saya lebih baik memilih sosok calegnya sih biar jelas dan enggak beli kucing dalam karung dan demi Demokrasi Indonesia juga sih," imbuh Ferry.
(mdk/lia)