"Cowok Kok Nggak Ngerokok?" Dampak Pandangan Toxic Masculinity Terhadap Terus Meningkatnya Jumlah Perokok Pria di Indonesia
Pandangan bagi pria yang tidak merokok di Indonesia menyebabkan semakin meningkatnya jumlah perokok.
Di Indonesia, pertanyaan yang sering kali terdengar, "Cowok kok nggak ngerokok?" bukanlah sekadar canda atau sindiran biasa. Di balik kalimat ini tersembunyi stigma sosial yang lebih dalam, yang menggambarkan bagaimana konstruksi maskulinitas yang beracun mengikat banyak pria Indonesia pada kebiasaan merokok.
Fenomena ini bukan hanya soal pilihan gaya hidup pribadi, tetapi juga refleksi dari ekspektasi sosial yang telah lama tertanam dalam masyarakat. Merokok, bagi banyak pria, tidak sekadar kebutuhan fisik—ini adalah simbol status, identitas, bahkan ukuran sejauh mana mereka diterima dalam pergaulan sosial.
-
Apa saja dampak buruk toxic masculinity terhadap kesehatan fisik anak? Anak laki-laki yang diasuh dengan toxic masculinity biasanya tidak mau meminta bantuan atau perawatan medis, karena merasa malu atau takut dianggap tidak mampu. Mereka juga cenderung mengabaikan kesehatan tubuh mereka, dengan tidak menjaga pola makan, olahraga, atau istirahat yang sehat. Hal ini bisa mengganggu kesehatan fisik anak, yang bisa menyebabkan berbagai penyakit, seperti obesitas, diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung.
-
Bagaimana toxic masculinity bisa menghambat kecerdasan emosional anak laki-laki? Anak laki-laki yang diasuh dengan toxic masculinity kurang mengembangkan kecerdasan emosional mereka, yaitu kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka juga kurang mengembangkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain.
-
Kapan toxic masculinity bisa dipelajari oleh anak laki-laki? Toxic masculinity bukanlah sesuatu yang bawaan, melainkan dipelajari dari lingkungan sekitar, terutama dari pola asuh orang tua.
-
Kenapa penerapan toxic masculinity bisa menyebabkan anak laki-laki jadi stres dan depresi? Anak laki-laki yang diasuh dengan toxic masculinity cenderung memendam emosi dan perasaan mereka, karena takut dianggap lemah atau cengeng. Mereka juga sering mendapat tekanan untuk menunjukkan prestasi, kompetensi, dan tanggung jawab yang tinggi, tanpa mendapat dukungan atau penghargaan yang memadai. Hal ini bisa menyebabkan stres dan depresi pada anak, yang bisa berujung pada perilaku buruk, seperti merokok, minum alkohol, atau bahkan bunuh diri.
-
Siapa yang paling sering menerapkan toxic masculinity dalam mendidik anak? Banyak orang tua yang tanpa sadar menerapkan toxic masculinity dalam mendidik anak laki-laki mereka, dengan harapan agar mereka tumbuh menjadi pria yang kuat, mandiri, dan berani.
-
Apa aja dampak begadang buat mental wanita? Begadang meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan stres. Kurang tidur dapat mempengaruhi mood dan kemampuan untuk mengatasi tekanan sehari-hari.
Penelitian dari Bastonus dan Herieningsih (2017) mengatakan bahwa penyebab tingginya jumlah pria muda yang merokok di Indonesia adalah akibat persepsi maskulinitas dan iklan rokok yang sangat mudah dijumpai. Penelitian lain dari Maharani & Harsanti (2021) menjelaskan mengapa pria muda rentan merokok adalah akibat kondisi di sekolah, pekerjaan, akses radio, status ekonomi, usia, serta paparan sebagai perokok pasif atau dengan kata lain, pria kerap kali menjadi perokok bukan karena keinginan atau rasa penasarnnya melainkan karena paparan di lingkungan sosialnya.
Merokok Sebagai Simbol Maskulinitas
Di berbagai ruang sosial, mulai dari warung kopi hingga area merokok di perkantoran, merokok telah menjadi ritual tak terpisahkan dari kehidupan banyak pria Indonesia. Bagi mereka, merokok bukan hanya soal mengonsumsi nikotin atau menghabiskan waktu santai. Ini adalah tiket untuk diterima dalam lingkaran sosial mereka—cara untuk menunjukkan bahwa mereka "cukup jantan" atau "cukup gaul". Bagi banyak pria, keputusan untuk merokok lebih didorong oleh tekanan sosial dan agar diterima di sebuah lingkungan pertemanan hingga akhirnya dia sendiri kecanduan. Hal ini membuat seseorang yang awalnya social smoker menjadi pecandu rokok.
Kebiasaan ini tidak hanya berkembang di kalangan pria dewasa, tetapi juga merambah ke kalangan remaja. Banyak pria muda yang merasa bahwa mereka harus merokok untuk diterima oleh teman-teman mereka. Dalam pandangan mereka, seorang pria yang tidak merokok seringkali dipandang sebagai "kurang gaul" atau bahkan dianggap "kurang macho". Oleh karena itu, stigma sosial ini menjadi alasan utama mengapa banyak pria memilih untuk merokok meskipun mereka sadar akan bahaya kesehatan yang mengancam.
Peningkatan Prevalensi Perokok di Indonesia
Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi tercermin dalam data statistik yang sangat mencemaskan. Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya berasal dari kelompok usia 10 hingga 18 tahun. Tak hanya itu, data Our World in Data menunjukkan bahwa 71,4% pria Indonesia merokok, sebuah angka yang menunjukkan peningkatan signifikan sejak tahun 2000 yang hanya mencapai 63,8%.
Peningkatan jumlah perokok di Indonesia semakin dirasakan di kalangan anak dan remaja. Menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019, prevalensi perokok di kalangan anak sekolah usia 13 hingga 15 tahun meningkat dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019. Bahkan, kelompok usia 15 hingga 19 tahun tercatat sebagai kelompok dengan prevalensi perokok terbanyak, mencapai 56,5%. Angka ini semakin memperlihatkan bagaimana kebiasaan merokok mulai membudaya di kalangan generasi muda Indonesia.
- Aturan Rokok Kemasan Polos Dinilai Bukan Solusi Tepat Tekan Prevalensi Perokok di Indonesia
- Jumlah Perokok Aktif di Indonesia Capai 70 Juta Orang, Butuh Upaya dari Pemerintah untuk Mengurangi
- Cara Agar Anak Terbebas dari Rokok, Terapkan Sebelum Terlambat
- Diremehkan Mantan Suami & Diganggu Preman, Janda Cantik 2 Anak Nekat Jualan Bakso Gerobak Kini Omzetnya Rp100 Juta
Kekuatan Iklan Rokok dan Pengaruh Media Sosial
Salah satu faktor utama yang mempercepat peningkatan jumlah perokok, terutama di kalangan anak muda, adalah pemasaran agresif yang dilakukan oleh industri rokok. Kementerian Kesehatan melalui Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Eva Susanti, mengungkapkan bahwa industri tembakau memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk menjangkau audiens muda.
"Upaya pemasaran dilakukan dengan memanfaatkan influencer, topik yang sedang tren, serta pengenalan merek tembakau melalui media sosial," kata Eva. Selain itu, para produsen rokok juga membuka gerai-gerai di festival musik dan olahraga yang menarik perhatian anak muda, sehingga membuat mereka lebih terpapar pada produk tembakau.
Taktik ini juga didukung oleh kemunculan rokok elektrik yang semakin populer di kalangan remaja. Dari data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, prevalensi penggunaan rokok elektrik di kalangan remaja Indonesia meningkat pesat, dari 0,3% pada 2019 menjadi 3% pada 2021. Keberagaman rasa yang ditawarkan dalam rokok elektrik menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi muda, yang melihatnya sebagai pilihan yang lebih "keren" dan lebih aman dibandingkan rokok konvensional.
Toxic Masculinity dan Dampaknya
Di balik kebiasaan merokok yang terus meningkat ini, terdapat konstruksi maskulinitas beracun yang sangat kuat. Menurut pandangan sosial, seorang pria yang tidak merokok sering kali dianggap kurang mampu menyesuaikan diri dengan norma yang ada dalam pergaulan pria. Hal ini semakin diperparah dengan tekanan sosial yang menganggap merokok sebagai bagian dari identitas seorang pria.
Banyak pria yang merasa bahwa untuk menjadi "pria sejati", mereka harus merokok. Dalam pandangan ini, merokok menjadi simbol keberanian, kejantanan, dan bahkan status sosial di antara teman-teman mereka.
Namun, kenyataannya merokok membawa dampak yang sangat besar bagi kesehatan, baik bagi perokok itu sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit serius, mulai dari kanker paru-paru, penyakit jantung, hingga stroke. Di Indonesia, sekitar 70% pria berusia 15 tahun ke atas adalah perokok aktif, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka perokok pria tertinggi di dunia. Tidak hanya merusak kesehatan tubuh, kebiasaan merokok juga menambah beban ekonomi keluarga, terutama akibat biaya pengobatan yang semakin meningkat akibat penyakit terkait merokok.
Lebih dari itu, dampak merokok tidak hanya dirasakan oleh perokok aktif, tetapi juga oleh orang-orang di sekitar mereka. Paparan asap rokok, baik di rumah maupun di tempat umum, dapat menyebabkan gangguan pernapasan, asma, dan bahkan meningkatkan risiko kanker pada anggota keluarga, khususnya anak-anak. Paparan asap rokok di dalam rumah menjadi ancaman besar bagi kesehatan anak-anak, yang bisa memperburuk kualitas hidup mereka dan menambah beban kesehatan keluarga.
Patut disadari bahwa merokok bukan hanya soal kebiasaan pribadi, tetapi juga soal budaya dan pandangan sosial yang dimiliki seseorang. Bagaimana kita mendefinisikan maskulinitas dan mengajarkan nilai-nilai sehat kepada generasi muda adalah kunci untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia.
Salah satu langkah awal yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan kesadaran akan bahaya merokok melalui edukasi yang lebih luas, baik melalui sekolah, media sosial, maupun kampanye kesehatan masyarakat. Kampanye-kampanye ini harus menekankan bahwa menjadi pria sejati bukanlah soal merokok atau mengikuti pola budaya yang berbahaya.