Ikan Kalend Diusulkan Jadi Menu Makan Bergizi Gratis, Kenali Risikonya Menurut Ahli Gizi
Kandungan dari ikan kaleng tidak cocok untuk dijadikan menu dari makan bergizi gratis (MBG).
Belakangan ini, ikan kaleng menjadi topik hangat karena dianggap dapat dimasukkan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Usulan untuk menyertakan ikan kaleng dalam menu MBG datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). "Kami selalu komunikasikan kepada mereka bahwa produk olahan ini (ikan kaleng) sudah memenuhi syarat ini, memenuhi syarat itu, sehingga nanti mereka akan memilih kira-kira yang mana yang akan diambil," kata Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Budi Sulistiyo, saat konferensi pers di Kantor KKP, Jakarta, pada Senin (11/11/2024) seperti yang dikutip dari Bisnis Liputan6.com.
Budi juga menyatakan bahwa pihaknya akan mengajukan saran ini kepada Badan Gizi Nasional (BGN) dan telah menyiapkan daftar produk olahan ikan, termasuk ikan kaleng, sebagai pilihan sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis. Mengenai hal ini, Tan Shot Yen, seorang ahli gizi komunitas, menjelaskan bahwa umumnya ikan kaleng diolah dengan metode pengawetan. Beberapa produk ikan kalengan juga ditambahkan bahan lain seperti minyak dan garam, yang bisa menjadi permasalahan. Menurutnya, "Imbuhan-imbuhan itu yang jadi masalah, bisa pengaruhi gizi jika ada kelebihan garam," ungkap Tan melalui pesan teks kepada Health Liputan6.com, pada Jumat (15/11/2024).
-
Siapa yang mengusulkan susu ikan untuk program makan bergizi gratis? Wacana susu ikan semakin ramai diperbincangkan ketika muncul kabar bahwa produk ini akan menjadi bagian dari program makan bergizi gratis yang diinisiasi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
-
Kapan susu ikan mulai diusulkan untuk program makan bergizi gratis? Wacana susu ikan semakin ramai diperbincangkan ketika muncul kabar bahwa produk ini akan menjadi bagian dari program makan bergizi gratis yang diinisiasi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
-
Apa saja manfaat kesehatan yang bisa didapatkan dari mengonsumsi ikan kembung? Ikan kembung memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan. Terdapat kandungan protein yang tinggi dari ikan ini sehingga baik untuk membantu membangun dan memperbaiki jaringan tubuh. Selain itu, ikan kembung juga mengandung asam lemak omega-3 yang dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung, mengurangi peradangan, serta meningkatkan fungsi otak. Kandungan vitamin B12 yang berfungsi untuk menjaga kesehatan sistem saraf dan membantu produksi sel darah merah juga ada di ikan kembung. Ikan kembung juga mengandung vitamin D yang berperan dalam membantu penyerapan kalsium dan fosfor dalam tubuh, sehingga baik untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi. Selain itu, ikan kembung juga mengandung zat besi, magnesium, dan fosfor yang baik untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan.
-
Apa yang dimaksud dengan makan sehat? Menurut Davis pada dasarnya, makan sehat adalah mengisi tubuh dengan makanan bergizi dan utuh.
-
Bagaimana cara program makan siang gratis Prabowo-Gibran bisa menguntungkan UMKM? "Dengan meningkatnya jumlah anak yang menerima makan siang di kantin atau warung di sekitar sekolah, dapat mengalami peningkatan pelanggan yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan UMKM setempat," kata Wakil Komandan Tim Fanta TKN Prabowo-Gibran, Anggawira.
-
Siapa yang bisa mendapatkan manfaat dari mengonsumsi ikan kembung? Ikan kembung memiliki banyak manfaat kesehatan yang tidak boleh kita kesampingkan sehingga perlu dikonssumsi secara rutin.
Risiko dari Toksin Botulinum
Tan menambahkan bahwa ikan kaleng biasanya memiliki perbedaan rasa dibandingkan dengan ikan segar. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa pengemasan ikan kaleng yang tidak sesuai atau sudah kedaluwarsa dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Dia menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap risiko botulinum toxin atau racun botulinum. "Perlu dipikirkan juga risiko botulinum toksin," sarannya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), botulinum toxin adalah penyebab dari botulisme yang berasal dari makanan (Foodborne botulism). Penyakit ini tergolong serius dan dapat berakibat fatal. Racun botulinum dapat muncul dalam makanan yang terkontaminasi, di mana spora yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum (C. botulinum) bersifat tahan panas dan dapat ditemukan di berbagai lingkungan. Dalam kondisi tanpa oksigen, spora tersebut dapat berkecambah, berkembang, dan menghasilkan racun yang berbahaya.
Pertumbuhan Toksin Botulinum pada Makanan
Racun botulinum dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang diproses dengan cara yang tidak benar, di mana bakteri atau spora tetap hidup, kemudian berkembang biak dan memproduksi racun. Selain keracunan makanan yang umum, botulisme juga bisa disebabkan oleh infeksi usus botulinum pada bayi, infeksi melalui luka, serta melalui inhalasi. Toksin botulinum telah terdeteksi dalam berbagai jenis makanan, termasuk sayuran yang diawetkan dengan kadar asam rendah seperti kacang hijau, bayam, jamur, dan bit. Selain itu, racun ini juga dapat ditemukan dalam produk ikan seperti tuna kalengan, ikan yang difermentasi, diasinkan, dan diasap. Produk daging seperti ham dan sosis juga dapat mengandung toksin ini. Jenis makanan yang terpengaruh bervariasi di setiap negara, mencerminkan kebiasaan makan lokal serta cara pengawetan makanan yang diterapkan. Tak jarang, makanan yang diproduksi secara komersial juga terlibat dalam kasus keracunan ini.
Clostridium botulinum adalah bakteri yang membutuhkan kondisi anaerob, artinya ia dapat tumbuh hanya dalam keadaan tanpa oksigen. Botulisme yang berasal dari makanan terjadi ketika C. botulinum berkembang biak dan memproduksi racun dalam makanan sebelum makanan tersebut dikonsumsi. Bakteri ini dapat membentuk spora dan ditemukan secara luas di lingkungan seperti tanah, sungai, dan laut. Pertumbuhan bakteri serta pembentukan toksin paling sering terjadi pada produk yang memiliki kandungan oksigen rendah, serta dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan parameter pengawet lainnya. Hal ini umumnya terjadi pada makanan yang tidak diawetkan dengan baik dan pada makanan yang tidak diproses secara memadai, seperti makanan kalengan atau makanan rumahan yang tidak terjamin kebersihannya.
Selain itu, C. botulinum tidak dapat berkembang dalam lingkungan yang bersifat asam (pH di bawah 4,6), sehingga toksin tidak akan terbentuk pada makanan yang memiliki sifat asam tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa pH yang rendah tidak akan menghilangkan toksin yang sudah terbentuk sebelumnya. "Kombinasi suhu penyimpanan rendah dan kandungan garam dan/atau pH juga digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri atau pembentukan toksin," demikian kutipan dari laman WHO, Jumat (15/11/2024).