Mengenal Keunikan Piti Tebo, Mata Uang Kuno Palembang yang Hanya Laku saat Diikat Tali
Bentuk mata uang ini sangat unik, yakni memiliki lubang di bagian tengahnya, mirip donat.
Sebelum munculnya mata uang rupiah, Indonesia sudah mengenal sistem pembayaran serupa menggunakan koin logam. Jangan dibayangkan alat tukar ini seperti di era sekarang, karena di zaman dulu belum ditemukan kertas sebagai media pembayaran.
Salah satu wilayah yang sudah menggunakan uang koin logam berbentuk bulat adalah Palembang, Sumatra Selatan. Kala itu, bukan rupiah melainkan Piti Tebo atau Piti Teboh yang dibuat dari timah.
-
Apa itu pindang tulang iga sapi khas Palembang? Pindang tulang iga sapi dapat menjadi menu alternatif dalam acara makan Anda bersama keluarga.
-
Kapan Prabowo tiba di Sumatera Barat? Calon Presiden (Capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto tiba di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang Pariaman pada Sabtu (9/12) pagi.
-
Dimana letak Pelabuhan Muara yang menjadi pusat perdagangan di Padang? Mengutip jurnal "Pelabuhan-Pelabuhan Kota Padang Tempo Doeloe" karya Dr. Gusti Asnan, pelabuhan ini berada di muara Batang Arau.
-
Apa yang dimaksud dengan Telok Abang di Palembang? Dalam bahasa Palembang, telok diartikan telur dan abang artinya merah. Artinya secara keseluruhan, Telok Abang merupakan telur rebus yang cangkangnya diberi warna merah.
-
Di mana Pasar Keuangan Rakyat (PKR) di Sumbawa Barat digelar? Dalam rangka Bulan Inklusi Keuangan, OJK Provinsi Nusa Tenggara Barat bersama Bank Indonesia dan 14 Lembaga Jasa Keuangan menggelar Pasar Keuangan Rakyat (PKR) yang dilaksanakan pada 27-29 Oktober 2023 di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
-
Apa bentuk khas Kue Petulo Kembang? Kue petulo kembang ini terbilang unik karena bentuknya seperti mi gulung yang memiliki beragam warna.
Bentuknya sangat unik yakni memiliki lubang di bagian tengahnya, mirip kue donat. Ukurannya juga beragam, dengan paling kecil seukuran uang pecahan Rp1.000 di masa sekarang dan yang paling besar seukuran lebih besar sedikit.
Sisi menarik dari mata uang ini adalah nilai jualnya yang tidak laku jika digunakan sekeping. Uang ini hanya mau diterima, jika sudah diikat dengan tali bambu dalam jumlah tertentu. Yuk, kenalan lebih dekat dengan Piti Tebo berikut ini.
Digunakan di Zaman Sultan Mahmud Badaruddin 1
Mengutip Instagram Museum Nasional Indonesia, uang logam ini diketahui digunakan pada masa Sultan Mahmud Badaruddin 1 yang berkuasa di Kerajaan Palembang Darussalam mulai tahun 1724.
Ketika itu, pemerintahan ini tidak menggunakan mata uang Gulden milik Belanda dan masyarakat melakukan pembayaran secara penuh dengan mata uang Piti Teboh.
Alasan Belanda tidak mencampuri urusan pemerintahan kesultanan tersebut karena kondisi VOC yang saat itu tengah babak belur karena kalah dalam perdagangan. Intervensi ekonomi pun tidak begitu dirasakan masyarakat kerajaan pada saat itu.
Ada Aksara Arab Bertuliskan Palembang
Ada hal berbeda dari desain mata uang ini, yakni terdapatnya aksara bertuliskan Arab yang berbunyi “Hadza Fulus Fi Balad Palembang” yang artinya uang ini dari negeri Palembang. Kemudian ada juga motif angka 1150 Hijriyah atau sama dengan tahun 1744 masehi.
Dimungkinkan, aksara Arab berasal dari kebudayaan Kesultanan Palembang yang sudah menganut Muslim. Dari sana, setiap aktivitas apapun termasuk jual beli maka dimasukan unsur agama Islam sebagai agama sehari-hari warga Kesultanan Palembang Darussalam.
Meski pemerintahan sultan hanya menggunakan Piti Tebo, namun di Palembang secara umum mata uang VOC dan dollar Spanyol juga digunakan di pinggiran.
Tidak Laku Jika Sekeping
Kabarnya, mata uang ini tidak laku jika hanya digunakan satu atau dua keping. Ini tentu berbeda dengan kondisi di zaman sekarang yang satu keping atau selembarnya punya nilai mulai dari Rp1.000 sampai Rp100.000.
Uang akan bisa digunakan sebagai alat tukar jika jumlahnya minimal 500 keping. Itulah mengapa bagian tengah koin ini berlubang sebagai tempat untuk tali bambu untuk mengikat jumlah keping yang banyak.
Mengutip Wikipedia, alasan mata uang ini tidak laku satu keping karena nilainya yang amat kecil. Umumnya, warga membelanjakan uang tersebut dengan ratusan keping logam.
Terjadi Banyak Pemalsuan
Dalam buku “Oedjan Mas di Bumi Sriwijaya Bank Indonesia dan Heritage di Sumatera Selatan” karena kebutuhan kepingan uang yang tinggi akibat tidak laku jika sekeping, maka terjadi banyak pemalsuan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Uang-uang Piti Tebo banyak dibuat imitasinya dari logam dan sulit dibedakan di masa itu. Karena tingkat pemalsuan yang tinggi, maka pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin menerapkan hukuman berat bagi siapa saja yang memalsukan.
Sultan juga tak segan, karena jika mendapati seseorang yang melakukan aksinya dan merugikan banyak pihak maka hukuman mati siap dijatuhkan.