5 Pembedahan ilmiah 'kepo' dan 'stalking media sosial', mengapa rasanya menyenan
5 Pembedahan ilmiah 'kepo' dan 'stalking media sosial', mengapa rasanya menyenangkan? Ternyata, kepo adalah hal yang menyenangkan. Untuk melihat seluruh post IG dari mantan pacar, teman kantor yang baru, atau teman SD yang sudah belasan tahun tak bertemu, kita bisa habiskan waktu berjam-jam lamanya.
Ternyata, kepo adalah hal yang menyenangkan. Untuk melihat seluruh post IG dari mantan pacar, teman kantor yang baru, atau teman SD yang sudah belasan tahun tak bertemu, kita bisa habiskan waktu berjam-jam lamanya.
Tak bisa dipungkiri bahwa sepertinya, kepo atau stalking media sosial adalah insting biologis. Dengan makin banyaknya orang yang terknoneksi media sosial, hal ini justru tak akan hilang.
-
Siapa ilmuwan terbaik di Universitas Gadjah Mada berdasarkan AD Scientific Index 2024? Universitas Gadjah Mada Jumlah ilmuwan dalam indeks : 497Ilmuwan terbaik dalam institusi : Abdul Rohman
-
Di mana daftar ilmuwan paling berpengaruh di dunia ini diumumkan? Peringkat tersebut didasarkan pada analisis dampak sitasi di berbagai disiplin ilmu yang diambil dari database Scopus. Setiap tahun, lembaga ini memilih 100.000 ilmuwan dari seluruh dunia yang aktif di berbagai institusi akademik.
-
Bagaimana AD Scientific Index menentukan peringkat universitas terbaik di Indonesia? AD Scientific Index menggunakan sistem pemeringkatan yang unik dengan menganalisis sebaran ilmuwan dalam suatu institusi menurut persentil 3, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90.
-
Mengapa penelitian ini penting? Selain membantu memahami lebih lanjut tentang sistem cuaca unik di planet es, temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa medan magnet Neptunus dan Uranus berbeda dengan medan simetris yang dimiliki Bumi.
-
Kapan kata pengantar dianggap penting dalam karya ilmiah? Meski bukan bagian dari isi, namun dalam suatu karya ilmiah, kata pengantar bukan sebuah formalitas.
Namun mengapa ketertarikan ini ada? Semua itu sebenarnya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.
Berikut berbagai pembedahan ilmiahnya.
Informasi memberi kita kekuatan
Dalam sebuah jurnal dari para ilmuwan yang meneliti kepuasan pengguna media sosial, disebut bahwa melihat kehidupan seseorang tanpa memberi apapun sebagai gantinya, itu memberi kita tingkat kepuasan tertentu.Â
Tentu kita melakukan hal ini dengan melihat satu-persatu isi feed Instagram seseorang. Namun sejak lama, hal ini pun sudah ada. Itulah mengapa di era sebelum media sosial, kita suka nonton acara reality di televisi, serta acara gosip. Hal ini membuktikan bahwa informasi memberi kekuatan.
Evaluasi diri
Proses evaluasi diri adalah hal yang selalu harus kita lakukan. Masalahnya, seringkali hal ini memicu kegiatan kita untuk 'mencari perbandingan.' Karena tentu kita tidak bisa mengenali bagaimana diri kita kalau tidak mencari perbandingan terhadap seseorang.
Bahkan dalam jurnal penelitian tentang hirarki kebutuhan dan motivasi dalam kepuasan media sosial dari Rochester Institute of Technology, disebut bahwa otak kita secara insting ingin mengkategorikan dan memberi peringkat pada sifat kita sendiri, dibandingkan dengan sifat orang lain. Cara paling mudah melakukan itu? Tentu dengan melihat bagaimana orang berperilaku dan bersikap lewat caption Instagram dan Tweetnya.
Neotony
Manusia adalah makhluk yang spesial. Tidak seperti mamalia lainnya, otak manusia akan selamanya muda. Jadi, otak manusia sudah berevolusi dan 'sudah dari sananya' selalu beradaptasi dan berubah agar siap menerima berbagai tantangan baru. Hal ini disebut Neotony, yang dijelaskan lengkap dalam ilmu Zoologi.
Neotony adalah retensi fitur remaja pada makhluk hidup, dan pada manusia, ini terjadi pada otak kita. Dengan ini, kita akan selalu ingin tahu lebih, dan di satu titik, informasi tak akan pernah cukup dan kita akan selalu mencarinya. Tentu, media sosial memberi semua informasi ini dengan baik, dan dengan kepo, Anda bisa mendapatkannya dengan mudah.
Norma sosial yang telah berubah
Sebuah studi menyebut bahwa koneksi sosial juga sangat berpengaruh untuk kesehatan. Orang yang kurang bersosialisasi lebih cenderung obesitas, perokok, serta tekanan darah yang tak normal. Namun studi ini menyebut bahwa penyebab intinya bukan soal sosialisasi, namun soal memahami cara seseorang berinteraksi.
Pada akhirnya, bukan tatap muka yang penting untuk sosialisasi, namun keramahan, empati, atau bahkan kesamaan sifat. Tentu, hal ini bisa kita dapatkan di media sosial, tanpa perlu bersosialisasi secara nyata.Â
Dengan kepo pun, kita bisa mendapat semua itu: orang yang berempati dengan hal yang juga kita empatikan, orang yang berbuat baik pada orang lain tanpa pamrih, bahkan kita bisa bertemu orang yang kita tatap sebagai orang tercinta kita di masa depan. Semua itu bisa kita dapat tanpa bersosialisasi.
Adiktif
Berdasarkan penelitian yang dimuat di Buffer Social, kita seakan-akan disuntik dengan hormon dopamin jika ada orang yang menyukai kiriman ki di media sosial. Sedikit perasaan bahagia tersebut ternyata adiktif, dan hal ini akan membuat kita jadi berlama-lama di media sosial.
Sebagai bagian dari itu, tentunya, kita akan mengonsumsi konten dari orang lain, dan dinamika kepo tak bisa terbendung.